logo
AI Disebut Penggerak Ekonomi: Indonesia Perlu Percepat Kedaulatan Digital
Tekno

AI Disebut Penggerak Ekonomi: Indonesia Perlu Percepat Kedaulatan Digital

  • Indonesia saat ini masih berada di fase "Taker", di mana sebagian besar perusahaan hanya mengadopsi teknologi AI yang sudah tersedia.
Tekno
Bunga Citra

Bunga Citra

Author

IBUKOTAKINI.COM – Kecerdasan Artifisial (Artificial Intelligence/AI) diprediksi menjadi game-changer dalam lanskap ekonomi global. Dengan adopsi yang semakin luas, AI berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing bisnis berbasis teknologi, termasuk di Indonesia.

Dalam laporan McKinsey Global Institute (2023), AI diperkirakan akan berkontribusi hingga USD 13 triliun terhadap ekonomi dunia pada 2030, setara dengan kenaikan rata-rata 1,2% PDB global per tahun. Bahkan, laporan PwC menyebutkan angka lebih tinggi, yakni USD 15,7 triliun. Sementara itu, di Indonesia, data Oliver Wyman 2023 menunjukkan bahwa hanya 13% bisnis yang telah mencapai tahap adopsi AI yang lebih maju (advanced), sementara lebih dari 80% perusahaan mulai berinvestasi atau menggunakan AI dalam operasional mereka.

Dengan potensi yang begitu besar, bagaimana AI dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional? Pertanyaan ini menjadi topik utama dalam diskusi panel bertajuk "Masa Depan AI: Mampukah Memperkuat Ekonomi Indonesia?" yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Teknologi (FORWAT) dalam perayaan Hari Ulang Tahun ke-5 FORWAT.

Diskusi ini menghadirkan Adrian Lesmono (Country Consumer Business Lead NVIDIA), Sri Safitri (Sekjen KORIKA), Nailul Huda (Direktur Ekonomi Digital CELIOS), dan Insaf Albert Tarigan (Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan), dengan Ardhi Suryadi, Wakil Pemimpin Redaksi Detik, sebagai moderator.

Dalam diskusi tersebut, Adrian Lesmono menekankan bahwa kedaulatan AI bukan lagi sekadar wacana, melainkan kebutuhan strategis bagi Indonesia.

“Teknologi AI yang cepat, aman, dan mandiri adalah fondasi kedaulatan digital Indonesia. Kedaulatan AI berarti kontrol penuh atas data, efisiensi, dan akselerasi digital,” ujarnya.

BACA JUGA:

https://ibukotakini.com/read/implementasi-kebijakan-keberlanjutan-pertamina-port-and-logistics-dianugerahi-green-and-smart-port-2025

Pendekatan yang lebih strategis dalam pengembangan AI juga diangkat oleh Sri Safitri, Sekjen Kolaborasi Riset & Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA). Ia menggarisbawahi beberapa tantangan utama yang masih menghambat adopsi AI di Indonesia, termasuk kurangnya tenaga ahli, keterbatasan infrastruktur digital, minimnya pendanaan untuk riset & pengembangan (R&D), serta regulasi yang belum optimal.

“Jumlah individu yang memiliki keahlian dalam bidang AI masih sangat sedikit, dan program studi khusus AI di Indonesia baru dimulai. Selain itu, regulasi terkait tata kelola data dan kebijakan AI juga masih perlu diperkuat agar pemanfaatannya dapat dioptimalkan,” jelasnya pada Senin 10 Maret 2025.

Di sisi lain, Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital CELIOS, menyoroti bagaimana AI telah menjadi tulang punggung transformasi ekonomi, khususnya di sektor keuangan dan digital.

“Adopsi AI yang tumbuh pesat di sektor finansial dan ekonomi digital menunjukkan bahwa teknologi ini mampu meningkatkan efisiensi dan membuka peluang baru. Dengan dukungan strategi pemerintah, kolaborasi industri, serta peningkatan keterampilan tenaga kerja, AI dapat memberdayakan Indonesia menuju pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan,” katanya.

Sementara itu, Insaf Albert Tarigan, Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan, menegaskan bahwa Indonesia perlu menyempurnakan strategi pemanfaatan AI nasional yang dapat berfungsi sebagai blueprint bagi pemerintah dan sektor swasta dalam mengadopsi dan mengembangkan AI.

BACA JUGA:

https://ibukotakini.com/read/pln-uid-kaltimra-hadirkan-terang-bagi-38-keluarga-prasejahtera

“Dengan kebijakan yang tepat, pemerintah dapat memaksimalkan potensi kerja sama dengan mitra global, termasuk dalam transfer teknologi, investasi, dan penelitian bersama. Kolaborasi ini akan mempercepat adopsi AI, membuka akses ke sumber daya global, serta memperkuat kedaulatan teknologi Indonesia,” ungkapnya.

Indonesia saat ini masih berada di fase "Taker", di mana sebagian besar perusahaan hanya mengadopsi teknologi AI yang sudah tersedia. Untuk mempercepat kemandirian digital, diperlukan pergeseran ke fase "Shaper" dan "Maker", di mana Indonesia tidak hanya menggunakan AI, tetapi juga menciptakan teknologi AI sendiri serta membangun ekosistem inovasi yang berkelanjutan.

Sebagai contoh, Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) telah mengembangkan berbagai inisiatif AI, seperti Sahabat-AI, Indosat AI Experience Center, dan Digital Intelligence Operation Center (DIOC). Sementara itu, GoTo menggunakan AI untuk memperkuat pengalaman pelanggan, dan Kata.ai mengembangkan solusi AI berbasis percakapan.

AI juga mulai diterapkan di sektor pemerintahan, misalnya untuk otomatisasi layanan publik dan moderasi konten digital oleh Kominfo.

Diskusi panel ini menjadi momentum penting dalam memformulasikan strategi nasional yang lebih konkret dalam pengembangan AI. Dengan meningkatnya pemahaman tentang peran AI dalam ekonomi, diperlukan langkah-langkah lebih lanjut untuk memastikan AI tidak hanya meningkatkan efisiensi bisnis, tetapi juga menciptakan dampak ekonomi yang lebih luas.

Sebagai penutup, para panelis sepakat bahwa AI harus diarahkan untuk memberdayakan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Untuk itu, kolaborasi antara pemerintah, industri, akademisi, dan komunitas menjadi kunci utama dalam membangun ekosistem AI nasional yang kuat dan berkelanjutan. ***