logo
Bincang Keamanan Jurnalis
(dari kiri) Abdul Manan, Jurnalis Senior Tempo, memoderatori diskusi panel tentang
ancaman dan risiko keselamatan jurnalis di masa transisi bersama Noudhy Valdryno,
Deputi II Bidang Diseminasi dan Media Informasi Kantor Komunikasi Kepresidenan; Wahyu
Dhyatmika, Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia; Anastasia Ika, Editor Floresa; dan
Bayu Wardhana; Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen; dalam acara peluncuran
Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 di Jakarta, Kamis (20/2/2025).
Tren

Ancaman Kebebasan Pers Menghantui

  • Skor Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 yang kini mencapai 60,5 menempatkan jurnalis dalam kategori “Agak Terlindungi”.
Tren
Ferry Cahyanti

Ferry Cahyanti

Author

IBUKOTAKINI.COM - Skor Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 yang kini mencapai 60,5 menempatkan jurnalis dalam kategori “Agak Terlindungi”.

Peningkatan 0,7 poin dibanding tahun sebelumnya menunjukkan ada perbaikan, namun kekhawatiran mengenai masa depan kebebasan pers semakin nyata di tengah transisi pemerintahan baru.

Hasil survei yang melibatkan 760 jurnalis aktif, serta analisis data sekunder dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), mengungkapkan bahwa 167 jurnalis mengalami 321 kasus kekerasan. 

Bentuk kekerasan yang paling dominan adalah pelarangan liputan (56%) dan larangan pemberitaan (51%). Mayoritas jurnalis pun merasa semakin berhati-hati dalam memproduksi berita, dengan 66% menyatakan bahwa mereka kini cenderung melakukan sensor mandiri.

Hal itu dilakukan guna menghindari konflik akibat tekanan dan ancaman kriminalisasi, sensor, serta intimidasi dari berbagai pihak.

BACA JUGA:

Kaltim Kaya Migas, Tapi Bensin Masih Antre - ibukotakini.com

Dalam acara peluncuran Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 di Jakarta, Dewan Pengawas Yayasan Tifa, Natalia Soebagjo, menyebut bentuk kekerasan yang diperkirakan meningkat dalam lima tahun mendatang adalah pelarangan liputan.  

"Sebanyak 56% responden menyatakan pelarangan liputan, kemudian dan larangan pemberitaan sebesar 51%. Aktor utama yang dianggap mengancam adalah organisasi masyarakat sebesar 23% dan buzzer sebesar 17%,” kata Natalia Soebagjo. 

Laporan ini merupakan hasil kerja sama antara Yayasan TIFA dan Populix dalam program Jurnalisme Aman. 

Konsorsium yang juga melibatkan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Human Rights Working Group (HRWG) ini, didukung oleh Kedutaan Besar Belanda, mengukur perlindungan jurnalis melalui tiga pilar utama, jurnalis, stakeholder media serta peran negra dan regulasi.

BACA JUGA:

Anggota DPR Syamsu Rizal Usulkan AMSI Dilibatkan dalam Penanganan Kejahatan Siber - ibukotakini.com

Natalia menekankan bahwa meskipun ada peningkatan skor, tantangan untuk memastikan kebebasan pers yang aman masih sangat besar. Ia mengimbau pemerintah segera merevisi regulasi yang dianggap membatasi kebebasan pers, seperti UU ITE dan KUHP, serta memperkuat mekanisme perlindungan hukum bagi jurnalis.

Sedangkan perusahaan media diminta meningkatkan komitmen melalui SOP yang jelas, pelatihan keselamatan, dan dukungan hukum.

Organisasi jurnalis dan CSO harus memperkuat advokasi, pendampingan hukum, serta edukasi guna meminimalkan risiko dan tekanan yang dihadapi para jurnalis,” imbuhnya.

Manajer Riset Sosial Populix, Nazmi Haddyat, mengungkapkan bahwa 39% jurnalis pernah mengalami penyensoran—baik dari redaksi maupun pemilik media—dan lebih dari setengah responden mengaku melakukan sensor mandiri. 

Menurutnya, regulasi yang ada masih menjadi ancaman utama bagi kebebasan pers, sehingga temuan ini diharapkan menjadi acuan bagi pemerintah, media, dan masyarakat sipil dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman.

BACA JUGA:

Penghargaan untuk Sofyan, Akmal dan Awang - ibukotakini.com

Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen, Bayu Wardhana, menambahkan bahwa meskipun jumlah kasus kekerasan cenderung menurun, kualitas kekerasan yang terjadi semakin serius. 

Bayu mencatat bahwa pada tahun 2024 terdapat insiden fatal, suatu kondisi yang belum terjadi di tahun-tahun sebelumnya, dan menyoroti pentingnya perlindungan menyeluruh bagi jurnalis agar intimidasi dan tekanan ekonomi tidak semakin memberatkan.

Sementara Deputi II Bidang Diseminasi dan Media Informasi Kantor Komunikasi Kepresidenan, Noudhy Valdryno, menegaskan peran negara yang sangat penting dalam menciptakan lingkungan kerja kondusif bagi para jurnalis. 

“Kami akan terus berupaya membangun komunikasi yang lebih erat dengan media serta memberikan akses yang lebih baik terhadap informasi publik. Angka 60,5 ini kita syukuri, tapi di tahun-tahun berikutnya kita harap indeks ini benar-benar masuk kategori ‘terlindungi’,” ujarnya.

Meskipun terdapat kenaikan skor keselamatan jurnalis, laporan ini menegaskan bahwa keselamatan jurnalis bukan hanya isu personal semata. Dampaknya langsung terhadap kualitas demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. 

BACA JUGA:

AMSI dan UNESCO Perkuat Kapasitas Jurnalias Jelang Pilkada Serentak - ibukotakini.com

Upaya kolektif dari semua pemangku kepentingan—pemerintah, media, dan masyarakat sipil—sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan menjaga agar informasi yang akurat dan transparan tetap mengalir. ***