Aturan Baru Kemenkes Picu Polemik dan Kecaman Publik
Tren

Aturan Baru Kemenkes Picu Polemik dan Kecaman Publik

  • Beberapa unggahan dari warganet dan serikat pekerja tembakau mengungkapkan penolakan terhadap aturan yang salah satunya mengharuskan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.
Tren
Redaksi

Redaksi

Author

JAKARTA - Berbagai aturan baru terkait pembatasan produk tembakau, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes), menjadi sorotan publik dan memicu polemik di media sosial. 

Tagar #KemenkesBikinPolemik serta kata kunci “Krisis Industri Tembakau” ramai diperbincangkan di platform X/Twitter sebagai bentuk kritik terhadap sikap Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang dianggap sepihak dalam menerapkan aturan ketat terhadap industri tembakau.

Banyak pihak menilai bahwa aturan ini eksesif dan mengabaikan peran tembakau sebagai salah satu komoditas strategis nasional yang menyumbang besar terhadap penerimaan negara serta menyerap jutaan tenaga kerja.

Beberapa unggahan dari warganet dan serikat pekerja tembakau mengungkapkan penolakan terhadap aturan yang salah satunya mengharuskan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.

Salah satu pengguna X/Twitter, @alepyou_, mencuit, “Kalo dipikir-pikir #KemenkesBikinPolemik terus sih, aturan barunya bikin masyarakat makin tertekan aja. menurutku wajar aja klo serikat pekerja terus menolak penyeragaman kemasan ini. Beneran makin Krisis Industri Tembakau nih sih,” tulisnya, yang mendapat ratusan interaksi dan lebih dari 9 ribu pembaca.

Serikat pekerja tembakau juga angkat bicara mengenai dampak aturan baru ini. Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FPS RTMM-SPSI) Sudarto menyatakan bahwa serikat akan melaporkan masalah ini kepada Presiden Prabowo Subianto jika pihaknya terus diabaikan dalam pembahasan aturan tersebut. 

BACA JUGA:

Dalam forum diskusi yang diadakan di Jakarta Selatan, Sudarto menegaskan bahwa Rancangan Permenkes perlu dikaji lebih lanjut bersama seluruh pihak yang terdampak, terutama di tengah kondisi industri yang sedang menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai perusahaan.

“Kami menolak Rancangan Permenkes yang tidak dibahas bersama seluruh pihak-pihak yang terdampak,” tegas Sudarto dalam acara Detikcom Leaders Forum bertajuk "Mengejar Pertumbuhan Ekonomi 8%: Tantangan Industri Tembakau di Bawah Kebijakan Baru."

Isu potensi hilangnya penerimaan negara dari sektor tembakau juga menjadi perhatian. Beberapa unggahan di media sosial memperkirakan dampak aturan ini terhadap pemasukan negara. Akun @beautifyuul menulis, “Kenapa sih punya hobby menggerus rakyat kecil? aturan #KemenkesBikinPolemik terus sampai aturan barunya ini bisa hilangkan 308 triliun rupiah loh. Krisis Industri Tembakau makin menjadi kalo gini sih,” yang juga mendapat ratusan interaksi dan ribuan pembaca.

Dalam diskusi yang sama, Head of Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, mengungkapkan bahwa Rancangan Permenkes ini dapat berdampak ekonomi yang signifikan, yaitu hingga Rp308 triliun. Selain itu, Andry memperkirakan potensi kehilangan penerimaan negara sebesar Rp160,6 triliun, setara dengan 7% dari total penerimaan perpajakan.

Selain dari sisi penerimaan negara, dampak pada tenaga kerja juga mengkhawatirkan. Menurut Andry, sekitar 2,29 juta tenaga kerja di sektor tembakau akan terdampak oleh kebijakan ini. Berdasarkan data tenaga kerja tahun 2019, jumlah tersebut setara dengan 32% dari total tenaga kerja di sektor tersebut, yang menunjukkan kontribusi besar sektor ini terhadap penyerapan tenaga kerja nasional.

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Kusnasi Mudi, menyampaikan pandangannya bahwa pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang tidak menekan industri tembakau secara berlebihan. 

“Berikan kekuatan kepada, khususnya petani tembakau dan industri hasil tembakau, dengan beberapa regulasi yang tentunya tidak memberatkan dan memberikan ruang napas bagi industri hasil tembakau dan petani tembakau,” pungkasnya. ***