Badan usaha konstruksi di Indonesia terancam kolaps akibat minimnya Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang konstruksi. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Bisnis

Badan Usaha Jasa Konstruksi Nasional Diambang Kematian Massal

  •    IBUKOTAKINI.COM – Asosiasi badan usaha jasa konstruksi nasional kesulitan mengurus Sertifikat Badan Usaha (SBU) menyusul masih minimnya j
Bisnis
Redaksi

Redaksi

Author

IBUKOTAKINI.COM – Asosiasi badan usaha jasa konstruksi nasional kesulitan mengurus Sertifikat Badan Usaha (SBU) menyusul masih minimnya jumlah Lembaga Sertifikasi (LSP) di bidang konstruksi. Jika tak memiliki SBU, badan usaha jasa konstruksi terancam tak bisa mengikuti lelang pekerjaan, bahkan terancam ditutup berdasarkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP No. 05 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. 

Dalam aturan tersebut disebut setelah operasionalisasi LSBU (Lembaga Sertifikasi Badan Usaha) sebagai lembaga yang dibentuk oleh Asosiasi Badan Usaha terakreditasi, wajib memiliki SBU. 

Berdasarkan data Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Kementerian PUPera dari jumlah subklasifikasi yang akan akan habis masa berlaku sampai Desember 2022 sejumlah 215.860 subklasifikasi. Namun sejak operasionalisasi 11 (sebelas) LSBU sampai bulan Juni 2022 lalu baru diterbitkan sub-klasifikasi sejumlah 25.701 sub-klasifikasi. 

Jika sampai Desember 2022 diperkirakan dengan tingkat layanan sama maka di akhir tahun 2022, baru akan terbit 50 ribuan sub-klasifikasi.

“Artinya hanya sekitar 11 % saja jumlah sub-klasifikasi dari Badan Usaha yang bisa beroperasi, sisanya 88 % diperkirakan sudah tidak bisa melanjutkan usaha/mati dan bisa berdampak langsung pada terganggungnya realisasi pembangunan infrastruktur,” tulis asosiasi melalui pernyataan pers. 

Hal ini sangat jelas juga bertentangan dengan semangat dari diterbitkan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. 

Hal di atas disebabkan oleh beratnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah badan usaha untuk bisa mendapatkan sertifikasi badan usahanya. Kami pengurus asosiasi-asosiasi badan usaha sudah beberapa kali berusaha menyampaikan baik secara lisan maupun bersurat secara resmi agar aturan di PP No. 05/2021 bisa segera di-relaksasi, beberapa usaha yang sudah ditempuh antara lain: 

a. Kepada Bapak Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI terkait dengan pemberian relaksasi sertifikasi Badan Usaha yang disampaikan langsung di depan forum Pembukaan Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) GAPENSI pada tanggal 22 Januari 2022, sebagai respond permohonan kami. 

b. Pertemuan Badan Pengurus Pusat GAPENSI Pusat dan perwakilan dari Badan Pengurus Daerah dengan Dirjen Bina Konstruksi dan Direktur Kelembagaan dan Sumber Daya Konstruksi Kementerian PUPR pada tanggal 24 Januari 2022 terkait dengan Pokok-pokok Pikiran Musyawarah Kerja Nasional GAPENSI 2022 tentang Relaksasi Sertifikasi Badan Usaha.

c. Surat-surat dari asosiasi Badan Usaha kepada Pemerintah dalam hal ini Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terkait permintaan relaksasi persyaratan sertifikasi Badan Usaha (terlampir). 

d. Hasil pertemuan Asosiasi Badan Usaha terakreditasi pada tanggal 14 Juli 2022 di Rumah Makan Kembang Goela Jakarta yang dihadiri oleh perwakilan asosiasi-asosiasi Badan Usaha yakni: GAPENSI, INKINDO, AABI, GAPEKNAS, AKTI, PERKINDO, GAPEKSINDO, ASPEKNAS, AKI dan GAPENRI, AKTI, dan ASPEKINDO.

Namun hingga saat ini permohonan asosiasi kepada pemerintah dalam hal ini Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, belum mendapatkan tanggapan  apapun dalam hal persyaratan perolehan Sertifikasi Badan Usaha bagi Badan Usaha anggota. 

Berikut adalah permohonan asosiasi badan usaha jasa konstruksi:

1. Memberikan kemudahan persyaratan pemenuhan tenaga kerja bersertifikat SKK untuk kualifikasi Kecil dengan menyampaikan surat pernyataan komitmen pemenuhan ketersediaan tenaga kerja bersertifikat sampai dengan 31 Desember 2023 sambil menunggu tindak lanjut Amar Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang perubahan UU No. 11 tahun 2020 beserta peraturan turunannya. Selain itu jumlah LSP (Lembaga Sertifikat Profesi) yang sudah beroperasi masih sangat sedikti dibandingkan dengan kebutuhan akan jumlah tenaga kerja yang dipersyaratkan di seluruh jenjang. 

Dari data per 8 Juni 2022, saat ini LSP baru bisa memproduksi 7,373 orang pemegang SKK untuk semua jenjang, jika kebutuhan SKK tiap BU sesuai PP 05/2021 adalah minimal 1 orang PJTBU dan 1 PJSKBU. Saat ini jumlah BU aktif data di LPJK adalah 100,711 jika masing-masing BU perlu 2 pemegang SKK maka diperlukan setidak-tidaknya 201,422 pemegang SKK. Sekali lagi: jumlah Badan Usaha yang harus menutup usahanya akan semakin banyak karena jumlah tenaga kerja konstruksi bersertifikat sebagai persyaratan SBU sangat tidak mencukupi.

2. Mempercepat penambahan penyusunan SKKNI pada jenjang jabatan kerja tertentu yang sangat diperlukan untuk PJTUB dan PJSKBU pada jenjang 6 dan 5 dalam rangkan pemenuhan persyaratan SKK badan usaha kualifikasi kecil. Agar produksi SKK oleh LSP-LSP bisa semakin banyak. 

3. Menyegerakan diterbitkan aturan relaksasi terkait Persyaratan Perizinan Berbasis Resiko yang diatur dalam PP No. 05/2021:

a. Nilai penjualan tahunan didasarkan pada perolehan pekerjaan dalam rentang waktu 3 (tiga) kali masa berlaku SBU (9 tahun) ke belakang, saat ini dipersyaratkan hanya 3 tahun ke belakang.

b. Rekaman Kontrak Kerja Konstruksi sebagai bukti Pengalamam Pekerjaan dapat digunakan sebagai persyaratan Penjualan Tahunan beberapa sub-klasifikasi yang sesuai, saat ini dipersyaratkan satu bukti Kontrak Kerja hanya bisa digunakan untuk satu sub-klasifikasi saja.

c. Persyaratan kemampuan keuangan diberlakukan sebagai persyaratan kualifikasi Badan Usaha, saat ini merupakan persyaratan keuangan per sub-klasifikasi sehingga modal yang dibutuhkan semakin besar.

d. Jumlah tenaga kerja konstruksi PJSKBU sebanyak satu orang dapat dipergunakan untuk memenuhi persyaratan 5 (lima) sub-klasifikasi SBU pada klasifikasi yang sama, saat ini diberlakukan satu tenaga kerja hanya bisa digunakan untuk satu sub-klasifikasi saja. 

“Kami yakin permohonan kami tidak akan sampai mengorbankan kualitas layanan jasa konstruksi kami di proyek-proyek konstruksi nasional baik melalui APBN/APBD, karena permintaan[1]permintaan tersebut masih dalam tahap sangat wajar disesuaikan dengan kondisi nyata dari badan-badan usaha anggota kami saat ini,” tulis asosiasi dalam pernyataan yang diterima redaksi. 

Jika permohonan tersebut tidak segera dikabulkan maka akan semakin banyak Badan Usaha Jasa Konstruksi yang tidak bisa melanjutkan usahanya yang hal ini jelas-jelas bertentangan dengan semangat adanya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja yang seharusnya lebih memberikan kemudahan dalam berusaha. Dan akan semakin banyak para pekerja konstruksi yang kehilangan pekerjaannya dan pengangguran akan semakin bertambah serta dikhawatirkan tingkat kemiskinan juga akan semakin besar, karena badan usahanya sudah tidak bisa beroperasi lagi menjalankan usahanya akibat sulitnya mengurus sertifikasi Badan Usaha-nya.