Bakal Bagi-bagi Rice Cooker, Pemerintah Siapkan Dana sebesar Rp347 Miliar
- IBUKOTAKINI.COM – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tak kapok dengan program bagi-bagi Alat Memasak Berbasis Listrik (AML).Setela
Kabar Ibu Kota
JAKARTA, IBUKOTAKINI.COM – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tak kapok dengan program bagi-bagi Alat Memasak Berbasis Listrik (AML). Setelah gagal dengan program kompor listrik, pemerintah kembali mengumumkan bakal membagikan penanak nasi (rice cooker). Rencana ini tervalidasi dengan adanya Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 tahun 2023 tentang Penyediaan Alat Memasak Berbasis Listrik Bagi Rumah Tangga.
Menteri ESDM Arifin Tasrif meneken aturan tersebut pada 26 September 2023 dan diundangkan di Jakarta pada 2 Oktober 2023.
"Penyediaan Alat Masak Berbasis Listrik yang selanjutnya disebut Penyediaan AML merupakan insentif yang diberikan kepada rumah tangga yang memenuhi kriteria tertentu," bunyi Pasal 1 ayat (2) dari Permen ESDM dikutip pada Senin, 9 Oktober 2023.
Adapun, rice cooker yang akan dibagikan memiliki kapasitas 1,8 liter sampai 2,2 liter. Untuk menghindari penyalahgunaan, rice cooker akan dilengkapi stiker bertuliskan “Hibah Kementerian ESDM dan Tidak untuk Diperjualbelikan” yang tidak mudah luntur dan tidak mudah dilepas.
Permen Pasal 12 juga menjelaskan, hibah rice cooker ini hanya dilakukan 1 (satu) kali untuk setiap penerima AML. Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan telah menyiapkan dana sebesar Rp347,5 miliar untuk 500.000 rumah tangga yang bersumber dari DIPA Kementerian ESDM TA 2023.
Sama seperti program sebelumnya, Kementerian ESDM menyebutkan, program ini bertujuan untuk menjamin akses energi bersih yang terjangkau, andal, dan berkelanjutan. Selain itu, penggunaan rice cooker diharapkan bisa mengurangi impor liquefied petroleum gas (LPG) yang digunakan untuk memasak, dan meningkatkan konsumsi listrik per kapita.
BACA JUGA:
- Bupati Kukar Lepas Peserta Jalan Santai di Pekan Keselamatan 2023 - ibukotakini.com
- Resmikan Plant Pertama di Indonesia, PLN Miliki Cara Paling Cepat Hasilkan Green Hydrogen - ibukotakini.com
- Bahas Penertiban POM Mini, Komisi II DPRD Balikpapan RDP dengan Asosiasi Penjual Eceran - ibukotakini.com
Mengapa Konsumsi Listrik per Kapita Perlu Naik?
Pertama-tama, konsumsi listrik per kapita (Kwh/Kapita) adalah jumlah kWh (kilo Watt hours) energi listrik yang digunakan atau dimanfaatkan baik secara langsung ataupun tidak langsung dari sumber energi dibagi jumlah penduduk pada suatu wilayah dalam periode satu tahun.
Penghitungan ini bertujuan untuk mengetahui rata-rata konsumsi energi listrik tiap penduduk. Setelah didapatkan, kWH/kapita menjadi alat ukur untuk mengetahui persentase total penerimaan dari pajak yang diterima oleh negara dalam satu tahun terhadap produk domestik bruto (PDB).
Rasio penerimaan pajak terhadap PDB/PDRB digunakan untuk memperkirakan pembiayaan domestik untuk melaksanakan program, mendukung pembangunan infrastruktur, barang dan jasa, juga untuk mendukung pengembangan sistem perpajakan dan menunjukkan keberhasilan kerangka tata kelola.
Kementerian ESDM mencatat, konsumsi listrik per kapita Indonesia pada 2022 mencapai 1.173 kWH/ kapita. Konsumsi tersebut naik 4% secara tahunan dibandingkan dengan 2021, sekaligus menjadi yang tertinggi dalam lima dekade terakhir.
Tahun ini, Kementerian ESDM menargetkan konsumsi listrik per kapita naik ke level 1.336 kWH/ kapita. Dalam upaya meningkatkan konsumsi listrik, pemerintah masih berhadapan dengan rasio elektrifikasi yang belum 100%.
Berdasarkan data PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, rasio elektrifikasi nasional naik menjadi 99,72% per Juni 2023 dibandingkan akhir 2022 99,63%. Dengan kata lain, pada akhir tahun lalu, masih ada sekitar 318 ribu rumah tangga belum mendapat akses listrik.
Targetnya, rasio elektrifikasi nasional mencapai 100% pada 2023.
Selain dengan mencapai elektrifikasi 100%, pemerintah mengupayakan aliran listrik menyala 24 jam sehari di seluruh wilayah Indonesia untuk meningkatkan konsumsi. Cara lainnya adalah membuat program bagi-bagi AML gratis untuk memodernisasi alat masak berbasis listrik.
Oversupply
Sebelumnya, PLN membatalkan program konversi LPG 3 kg ke kompor listrik yang awalnya untuk menyerap kelebihan pasokan (oversupply). Program tersebut menuai banyak kritik lantaran dinilai tak efektif menaikkan konsumsi listrik untuk mengatasi oversupply.
Untuk diketahui, Indonesia masih menanggung oversupply hingga 6 giga watt (GW). Oversupply bukan perkara enteng, karena setiap kelebihan 1 Giga Watt (GW), PLN bisa merugi hingga Rp3 triliun.
Jika PLN merugi, maka negara sebagai pemilik perseroan juga ikut terbebani.
Direktur Distribusi PLN Adi Priyanto mengatakan, penyebab oversupply listrik karena ada ketidaksesuaian (missmatch) antara realisasi pertumbuhan ekonomi dengan rencana PLN dalam penyediaan ketenagalistrikan jangka panjang.
"Pemerintah optimis sekali untuk create demand, karena cita-cita pemerintah pasti pertumbuhan ekonomi tinggi. Untuk mencapai itu diperlukan listrik banyak, sehingga PLN ditugaskan menyediakan listrik jangka panjang," kata Adi.
Adanya pandemi COVID-19 membuat perlemahan pertumbuhan ekonomi. Namun satu sisi lainnya pembangkit harus terus bereproduksi normal di wilayah Jawa dan Sumatera.
PT PLN (Persero) mengungkapkan bahwa pihaknya berhasil mengurangi beban dari kelebihan listrik atau oversupply listrik hingga mencapai lebih dari Rp 40-an triliun. Pengurangan beban kelebihan listrik itu dilakukan oleh PLN dari berbagai sisi.
Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengungkapkan bahwa pihaknya berhasil mengurangi biaya yang harus dibayar atas kelebihan listrik tersebut sebagai biaya Take or Pay (ToP) hingga lebih dari Rp40 triliun.
Darmawan menyebutkan PLN telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi beban keuangan ini, antara lain dengan melakukan pengurangan kontrak proyek listrik untuk mengurangi beban ToP, dan juga merenegosiasi kontrak.
"Sebagian bisa kita batalkan (tender proyek), kita kurangi, kemudian kita undur, kontraknya kita kurangi, yang kita sebut sebagai renegosiasi. Di mana, kami berhasil mengurangi beban Take or Pay Rp40 sekian triliun," ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, (8/2). (*)