Ulas dampak perubahan iklim terhadap kawasan pesisir Balikpapan. Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Balikpapan menggelar webinar pada Selasa (31/5/2022)
Kabar Ibu Kota

Dampak Perubahan Iklim terhadap Kawasan Pesisir Balikpapan

  • IBUKOTAKINI.COM – Ulas dampak perubahan iklim terhadap kawasan pesisir Balikpapan. Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Balikpapan menggelar webinar dengan mengangk
Kabar Ibu Kota
Redaksi

Redaksi

Author

IBUKOTAKINI.COM – Ulas dampak perubahan iklim terhadap kawasan pesisir Balikpapan. Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Balikpapan menggelar webinar dengan mengangkat tema dampak perubahan iklim terhadap kawasan pesisir, Selasa (31/05/2022)

Hadir sejumlah narasumber yakni Erika Mardiyanti, Kepala Stasiun Meteorologi Kelas I Sultan AJI Muhammad Sulaiman Sepinggan Balikpapan

Lalu Yohana Tiko, Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, Frans Marthin, Pelaksana Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Balikpapan dan Sucipto, Jurnalis Harian Kompas

Dalam pemaparannya, Erika Mardiyanti, menuturkan, perubahan iklim merupakan salah satu dampak dari pemanasan global. Perubahan iklim dapat diartikan sebagai fenomena peningkatan suhu global dari tahun ke tahun akibat efek rumah kaca.

“Faktor-faktor penyebab perubahan iklim  yakni aktifitas masyarakat, peningkatan rumah kaca, pemanasan global dan kerusakan fungsi hutan,” ujar Erika.

Menurutnya, dampak perubahan iklim khususnya di pesisir, salah satunya dari pemanasan global adalah meningkatnya permukaan air laut. Terjadi banjir dan gelombang pasang, erosi pantai dan peningkatan sedimentasi.

“Lalu dampak Ekologis, berkurangnya atau hilangnya wilayah genangan  di wilayah pesisir, hilangnya tanaman pesisir dan berkurangnya atau hilangnya habitat pesisir,” tandasnya. 

Di masa yang akan datang, suhu udara rata-rata cenderung akan meningkat dengan besar peningkatan sebesar 0.3 - 0.35oC . Di Balikpapan maupun Penajam Paser Utara (PPU). “Suhu minimum di malam hari cenderung akan meningkat lebih tinggi (2.3 - 2.5oC) dibanding peningkatan suhu maksimum (0.1 - 0.8 oC) di siang hari,” sebutnya.  

Kondisi itu akan berpengaruh pada rancangan bangunan di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. terutama terkait desain bangunan yang berwawasan Green Building dan ramah lingkungan dalam mendukung dan menciptakan kondisi smart city yang menyeluruh

Sementara Yohana Tiko, Direktur Eksekutif Walhi Kaltim dalam pemaparannya menyebutkan, terjadi ancaman krisis iklim dibalik perubahan iklim. Akibat pemanfaatan ruang. Di mana di Kaltim seluas 11.607.532,18 hektar dimanfaatkan untuk pertambangan, perkebunan dan kehutanan. Sehingga terjadi deforestasi yang kian mengkhawatirkan Kaltim diperkirakan hampir 350.000 ha hutan menghilang setiap tahunnya. Total rata-rata deforestasi di Kaltim selama periode 2015-2019 adalah 367.329 hektar. 

Tahun 2016 mencatat angka tertinggi, dengan luas 110.195 hektare.  “Saat ini, luasan hutan hanya 54% dari total luas daratan,” bebernya.

Kemudian terjadilah banjir di sejumlah daerah di Kaltim seperti di Kutai Kartanegara (Kukar) dengan ketinggian capai 150 cm, Kutai Timur dengan ketinggian 50-100 cm. Paser dengan ketinggian banjir 50-51 cm, Bontang dengan ketinggian 40-100 cm, Samarinda dengan ketinggian 50-100 cm, Kutai Barat dengan ketinggian 50-100 cm dan Balikpapan hampir 2 meter.

“Belum lagi reklamasi pesisir dan pulau-pulau Kecil. Di mana sepanjang 8500 Meter dengan luas konstruksi mengarah ke laut sejauh 200- 500 meter dari surut air  laut terendah. Total reklamasi mencapai 411,89 hektare,” ujarnya.

Sementara Frans Marthin, Pelaksana Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Balikpapan juga memaparkan, ancaman dampak perubahan iklim di kawasan pesisir di antaranya gelombang pasang, kenaikan muka laut hingga banjir rob atau tenggelamnya wilayah pesisir, termasuk abrasi.

“Mitigasi yang dilakukan yakni dengan berupaya mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana diwilayah pesisir,” ujarnya.

Misalnya, apa yang harus dilakukan saat terjadi gelombang pasang, yakni dengan melakukan pemberitahuan dini kepada masyarakat dari hasil prakiraan cuaca melalui radio dan alat komunikasi. Bila sedang berlayar di tengah laut, usahakan menghindari daerah laut yang sedang dilanda cuaca buruk. Membuatkan pengungsian apabila terjadi gelombang pasang dipinggir pantai.

Membuat infrastruktur pemecah ombak untuk mengurangi energi gelombang yang datang terutama di daerah pantai yang bergelombang besar. Saat gelombang pasang terjadi, jauhi pantai dan ke dataran yang lebih tinggi

Peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap bahaya gelombang pasang,  dengan pembangunan tembok penahan air pasang pada garis pantai yang berisiko. Penanaman mangrove serta tanaman lainnya sepanjang garis pantai untuk meredam gelombang pasang. Pembangunan tempat-tempat evakuasi yang aman di sekitar daerah pemukiman yang cukup tinggi dan mudah dilalui. 

“Melaporkan secepatnya jika mengetahui tanda-tanda akan terjadinya gelombang pasang kepada petugas yang berwenang : RT, Lurah, Polisi, BPBD maupun institusi terkait,” imbuhnya.

Sucipto, Jurnalis Harian Kompas menambahkan, beberapa kali mengangkat isu soal kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir Teluk Balikpapan. Bahkan luasnya diperkirakan capai belasan ribu hektar.

Dampak perubahan iklim terjadi di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.  Dengan panjang garis pantai mencapai 45 kilometer, Balikpapan jadi salah satu kota yang rentan terdampak kenaikan muka air laut karena pemanasan global.

Peningkatan muka air laut ini memiliki beberapa dampak seperti timbulnya bencana di daerah pasang surut seperti banjir akibat pasang air laut, erosi dan sedimentasi pantai, serta hilangnya populasi mangrove, yang sering dimanfaatkan juga sebagai penahan gelombang dan pelindung pantai. 

Salah satu kawasan yang mulai terdampak adalah Pantai Manggar, abrasi sepanjang 100 meter menerjang pantai yang jadi destinasi wisata warga Balikpapan ini. Belum lagi bencana banjir yang kian kerap terjadi.