
DPR Dinilai Langgar Aturan Sendiri dalam Proses Pemakzulan Gibran
- Pakar Hukum Tata Negara Soroti Inkonsistensi dan Motif Politik
Politik
IBUKOTAKINI.COM – Proses pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang diusulkan sejumlah purnawirawan ke DPR dinilai terbentur pada pelanggaran prosedur dan tarik-ulur politik.
Dalam diskusi bersama Abraham Samad di kanal YouTube ‘SPEAKUP’, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyoroti bagaimana DPR gagal mematuhi Tata Tertib No. 1/2020 yang sebenarnya mewajibkan lembaga tersebut memberikan respons tertulis atas surat masyarakat, termasuk usulan pemakzulan.
Bivitri Susanti dengan tegas menyatakan bahwa Pasal 341–346 Tatib DPR secara jelas mengatur kewajiban untuk memberikan balasan surat dalam waktu tertentu.
BACA JUGA:
Namun faktanya, hingga saat ini surat dari purnawirawan yang tertanggal 12 Juni 2025 itu sama sekali tidak mendapatkan respons. Yang lebih memprihatinkan, Pimpinan DPR justru memberikan alasan tidak profesional dengan menyatakan "belum membaca surat" saat rapat paripurna berlangsung.
"Ini benar-benar seperti dagelan. Mereka membuat aturan sendiri, tapi ternyata mereka sendiri yang melanggarnya. Dengan akal sehat saja kita bisa melihat bahwa surat itu sudah beredar luas di media sosial," tegas Bivitri dengan nada kesal.
Abraham Samad yang mendampingi diskusi tersebut menambahkan bahwa sikap DPR ini jelas menunjukkan upaya untuk mengalihkan kesalahan kepada Sekretariat Jenderal DPR.
BACA JUGA:
Wacana Daerah Otonomi Baru di Kaltim Kembali Mencuat - ibukotakini.com
"Mereka berusaha membuat kesan seolah-olah ini hanya masalah administrasi belaka, padahal secara hukum ini jelas merupakan sebuah pelanggaran," ujarnya dengan tegas.
Landasan Hukum Pemakzulan yang Lebih Komprehensif
Surat dari purnawirawan tersebut secara tegas merujuk pada Pasal 7A UUD 1945 yang mengatur tentang pemakzulan akibat beberapa alasan seperti pengkhianatan negara, tindak korupsi, perbuatan tercela, atau ketidakmampuan menjalankan tugas.
Bivitri dengan gamblang menjelaskan bahwa meskipun publik saat ini lebih fokus membahas Putusan MK No. 90/2023 tentang perubahan syarat usia calon wapres, sebenarnya argumentasi hukum harus diperluas dengan melihat berbagai rekam jejak Gibran lainnya:
Pertama, kasus Fufu Fafa yang melibatkan komentar seksis di akun Twitter pribadinya pada tahun 2015. Kedua, berbagai polemik terkait ijazah dan kapasitas intelektualnya. Ketiga, masalah kepatuhan terhadap standar etik sebagai pejabat publik.
BACA JUGA:
PBHI dan 33 Tokoh Ajukan Amicus Curiae untuk PK Alex Denni - ibukotakini.com
"Kita harus memahami bahwa standar penilaian perbuatan tercela bagi pejabat publik itu berbeda dengan masyarakat biasa. Mungkin bagi sebagian orang kasus Fufu Fafa hanya dianggap sebagai kenakalan remaja biasa, tapi bagi seorang calon wakil presiden, ini menyangkut masalah integritas yang serius," tegas Bivitri dengan penekanan.
Pakar hukum ini juga tidak segan mengkritik pernyataan Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa proses pemakzulan harus mencakup pasangan presiden dan wakil presiden sekaligus.
"Konstitusi kita sudah sangat jelas menggunakan frasa 'dan/atau' yang artinya proses bisa dilakukan terhadap salah satu saja. Ini jelas upaya pengalihan isu dengan cara menyeret nama Prabowo ke dalam pembahasan," jelasnya dengan analisis tajam.
BACA JUGA:
Mekanisme Pemakzulan yang Terhambat Kepentingan Politik
Bivitri kemudian memaparkan mekanisme formal pemakzulan yang seharusnya dilakukan; Pertama, minimal diperlukan 25 anggota DPR yang berasal dari lebih satu fraksi untuk mengajukan usul kepada pimpinan dewan.
Kedua, Badan Musyawarah (Bamus) kemudian akan memutuskan apakah usulan ini akan dimasukkan dalam agenda paripurna.
Ketiga, jika disetujui, akan dibentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk melakukan penyelidikan sebelum akhirnya dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Sayangnya, semua ini hanya teori belaka karena political will sama sekali tidak ada. Saat ini yang terjadi adalah masing-masing fraksi sibuk melakukan kalkulasi politik: Siapa yang akan menggantikan posisi Gibran? Apa keuntungan politik yang bisa mereka dapatkan?" ujarnya dengan nada prihatin, sambil merujuk pada dominasi koalisi Prabowo-Gibran di parlemen.
Refleksi Sejarah dan Ancaman terhadap Demokrasi
Bivitri kemudian mengajak untuk belajar dari dua preseden pemakzulan dalam sejarah Indonesia: jatuhnya Presiden Soekarno pada tahun 1967 dan Presiden Gus Dur pada tahun 2001.
Menurutnya, kedua peristiwa tersebut terjadi melalui proses yang tidak demokratis dan didominasi oleh kepentingan elit di MPR.
"Proses amandemen UUD 1945 sebenarnya sudah memperbaiki mekanisme ini dengan melibatkan MK. Kita tidak boleh kembali ke sistem elitistik masa lalu," tegasnya.
BACA JUGA:
Komite Keselamatan Jurnalis Laporkan Teror Terhadap Tempo ke Komnas HAM - ibukotakini.com
Ia menekankan bahwa transparansi DPR dalam memproses surat dari purnawirawan ini sangat penting untuk pendidikan politik masyarakat.
"Ini bukan sekadar persoalan menjatuhkan Gibran, tapi lebih tentang memastikan konstitusi kita benar-benar bekerja. Ketika ada pejabat yang melanggar, harus ada konsekuensi yang jelas," tandasnya penuh keyakinan.
Terkit tudingan bahwa pendukung pemakzulan sebagai bentuk "makar". Bivitri dengan tegas membantah: "Istilah makar itu merujuk pada serangan fisik terhadap pemerintah. Sedangkan apa yang kita bahas ini adalah mekanisme konstitusional yang sah, sama sekali bukan bentuk kudeta."
Untuk langkah selanjutnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, perlu memantau pergerakan 25 anggota DPR yang potensial mengajukan usulan resmi.
BACA JUGA:
Kaltim Tak Mau Andalkan DBH Sektor Migas dan Batu Bara - ibukotakini.com
Kedua, penting untuk mengawasi proses sidang di MK jika nantinya proses pemakzulan ini berlanjut, terutama menyangkut objektivitas hakim dalam menilai kasus Gibran.
"DPR sekarang berada di persimpangan: apakah mereka akan terus menjadi panggung dagelan politik, atau bangkit sebagai lembaga yang benar-benar menghormati konstitusi," pungkas Bivitri. ***
