
Gelombang PHK Massal: Industri Nasional Terpuruk 2024 Hingga Awal 2025
- Tingginya biaya produksi, termasuk upah tenaga kerja, bahan baku, dan energi, juga menjadi tantangan berat bagi industri dalam negeri
Ekbis
IBUKOTAKINI.COM - Tahun 2024 hingga awal 2025 menjadi periode suram bagi industri nasional. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan penutupan pabrik terus terjadi, menimbulkan dampak serius bagi ribuan pekerja serta perekonomian nasional.
Dilansir dari Trenasia.com. Sejak awal 2024, jumlah pabrik yang tutup dan melakukan PHK terus bertambah. Sektor-sektor seperti tekstil, elektronik, otomotif, dan alas kaki menjadi yang paling terdampak. Ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, sementara pemerintah dan pelaku usaha berupaya mencari solusi untuk mencegah pelemahan ekonomi lebih lanjut.
Gelombang PHK dan penutupan pabrik ini terjadi akibat berbagai tekanan ekonomi, baik dari faktor eksternal maupun internal. Penurunan permintaan global yang dipicu oleh perlambatan ekonomi dunia menyebabkan ekspor Indonesia mengalami kontraksi, terutama di sektor manufaktur yang bergantung pada pasar luar negeri.
Tingginya biaya produksi, termasuk upah tenaga kerja, bahan baku, dan energi, juga menjadi tantangan berat bagi industri dalam negeri untuk tetap kompetitif. Di sisi lain, masuknya produk impor murah akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China semakin menekan industri lokal yang kesulitan bersaing dalam harga.
Tak sedikit perusahaan yang akhirnya memilih untuk merestrukturisasi bisnis atau bahkan memindahkan operasinya ke negara lain yang menawarkan insentif investasi lebih menarik. Vietnam, misalnya, menjadi destinasi favorit dengan kebijakan perpajakan lebih ringan serta biaya produksi yang lebih rendah.
BACA JUGA:
Konsumsi BBM dan LPG Meningkat Selama Ramadan, Pertamina Pastikan Stok Aman - ibukotakini.com
Beberapa perusahaan besar di Indonesia telah merasakan dampak langsung dari kondisi ini. PT Sritex dan PT Asia Pacific Fibers di sektor tekstil terpaksa menutup operasionalnya akibat beban utang yang semakin berat serta lonjakan impor murah yang menggerus daya saing produk lokal.
Di sektor elektronik, PT Sanken Indonesia memilih menghentikan produksi dan beralih fokus ke industri semikonduktor yang dianggap lebih prospektif. Sementara itu, PT Yamaha Music dan PT Tokai Kagu di sektor otomotif serta alat musik juga menghentikan produksi mereka di Indonesia, menunjukkan adanya pergeseran strategi bisnis perusahaan global.
Tidak ketinggalan, PT Sepatu Bata, salah satu merek sepatu legendaris di Indonesia, harus menutup pabriknya akibat penurunan permintaan yang signifikan. Gelombang penutupan pabrik dan PHK ini tidak hanya berdampak pada sektor industri, tetapi juga menimbulkan efek domino terhadap tenaga kerja dan ekonomi domestik, termasuk meningkatnya tingkat pengangguran dan berkurangnya daya beli masyarakat.
BACA JUGA:
Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud Minta ASN Kerja Kreatif - ibukotakini.com
Daftar Pabrik yang Tutup dan Jumlah PHK
Berikut adalah beberapa perusahaan yang menutup pabriknya dan melakukan PHK massal:
- PT Sritex: Pailit, 10.665 karyawan di-PHK (Maret 2025).
- PT Yamaha Music & Yamaha Indonesia: Produksi dialihkan, 1.100 karyawan di-PHK (Maret & Desember 2025).
- PT Sanken Indonesia: Fokus ke semikonduktor, mem-PHK 457 karyawan (Juni 2025).
- PT Asia Pacific Fibers: Lonjakan impor, mem-PHK 2.500 karyawan (November 2024).
- PT Sepatu Bata: Permintaan turun, mem-PHK 233 karyawan (April 2024).
- PT HungA: Pasar lesu, mem-PHK 1.500 karyawan (Februari 2024).
- PT Cahaya Timur Garmindo: Pailit, mem-PHK 650 karyawan (Maret 2024).
- PT Tokai Kagu: Daya saing turun, mem-PHK 195 karyawan (Maret 2025).