Peta konsesi hutan di Pulau Sumatera yang dirilis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)
Tren

JATAM: Banjir Beruntun di Sumatera Bukan Cuaca Ekstrem

  • Krisis Akibat Tata Ruang Terdampak Industri Ekstraktif
Tren
Hadi Zairin

Hadi Zairin

Author

IBUKOTAKINI.COM — Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menegaskan rangkaian banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam sepekan terakhir bukan sekadar bencana hidrometeorologis, melainkan tata kelola ruang di Pulau Sumatera berada di titik kritis. 

Koordinator JATAM, Melky Nahar, menyatakan kerusakan ekosistem hulu dan daerah aliran sungai (DAS) yang terus dipicu industri ekstraktif menjadi penyebab utama runtuhnya daya dukung ruang hidup warga.

“Banjir dan longsor yang menewaskan puluhan orang, melukai banyak warga, serta memaksa ribuan mengungsi tidak bisa lagi dijelaskan sebagai cuaca ekstrem. Ini adalah gejala dari krisis tata kelola ruang,” kata Melky dalam pernyataan tertulis, yang dipetik Selasa, 2 Desember 2025.

BACA JUGA:

Banjir Sumatera Redam Optimisme Pasar Jelang Stimulus Nataru

Menurut JATAM, Sumatera telah berubah menjadi “zona pengorbanan” untuk industri tambang. Data Kementerian ESDM yang diolah JATAM mencatat sedikitnya 1.907 izin usaha pertambangan minerba dengan total luas 2,45 juta hektare. 

Konsentrasi terbesar berada di Bangka Belitung (443 izin), Kepulauan Riau (338), Sumatera Selatan (217), Sumatera Barat (200), Jambi (195), dan Sumatera Utara (170).

“Jutaan hektare hutan, kebun rakyat, dan lahan basah yang dulu menjadi penyangga air kini berubah menjadi galian tambang dan infrastruktur pendukungnya. Kemampuan DAS meredam air sudah runtuh,” ujarnya.

BACA JUGA:

PLN Kebut Pemulihan Kelistrikan Aceh

Selain tambang, JATAM menyoroti ekspansi besar-besaran PLTA. Terdapat 28 proyek PLTA yang beroperasi atau tengah dikembangkan, dengan sebaran terbesar di Sumatera Utara (16 titik). 

PLTA Batang Toru dan PLTA Sipansihaporas disebut menimbulkan risiko ekologis signifikan karena berada di ekosistem penting.

Berdasarkan analisis citra satelit per 28 November 2025, JATAM mencatat PLTA Batang Toru telah membuka sedikitnya 56,86 hektare hutan untuk bendungan, jalan, dan infrastruktur lain. 

“Modifikasi aliran sungai dan pola sedimen meningkatkan risiko banjir dan longsor di hilir,” kata Melky.

BACA JUGA:

Jaringan Pulih, Bantuan Mengalir dari Telkomsel

Tekanan semakin berat akibat proyek panas bumi. Terdapat delapan PLTP yang sudah beroperasi dan puluhan wilayah survei serta eksplorasi yang berpotensi membuka hutan baru di lereng-lereng gunung.

PPKH Buka Jalan Eksploitasi di Kawasan Hutan

JATAM juga menyoroti skema Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) yang disebut menjadi pintu pelepasan fungsi lindung untuk industri ekstraktif. 

Saat ini terdapat sedikitnya 271 PPKH dengan luas 53.769 hektare, termasuk 66 izin tambang seluas 38.206 hektare.

PT Agincourt Resources, pengelola tambang emas Martabe, disebut telah membuka sekitar 570 hektare hutan di dalam ekosistem Batang Toru. “Ini contoh bagaimana hulu DAS dieksploitasi secara langsung,” ujar Melky.

BACA JUGA:

Sejumlah Kawasan di Balikpapan Terendam Akibat Hujan Deras

JATAM menyebut seluruh tekanan dari tambang minerba, PLTA, PLTP, migas, perkebunan sawit, hingga HPH dan HTI telah membentuk tiga lapis kerusakan permanen.

“Semua ini dibungkus narasi transisi energi, tetapi warga di bantaran sungai, kaki bukit, dan pesisir justru menanggung banjir dan longsor,” kata Melky.

Ia menegaskan bahwa bencana beruntun tersebut menunjukkan model pembangunan berbasis ekstraksi sumber daya alam telah mencapai titik buntu. 

“Selama negara hanya menjawab bencana dengan karung bantuan dan laporan serapan anggaran, negara ikut melanggengkan siklus pengorbanan,” ujarnya.

JATAM mendesak pemerintah untuk segera:

  • Mencabut izin-izin yang terbukti merusak ekosistem,
  • Menghentikan ekspansi industri ekstraktif di kawasan hulu, DAS kritis, dan wilayah rawan bencana,
  • Mengembalikan pengelolaan ruang kepada masyarakat lokal dan adat.


“Tanpa langkah politik berani, setiap proyek baru hanya akan menjadi penyebab bencana berikutnya,” tegas Melky. ***