Franly dengan latar belakang 'kebun' solar panel. Kampung Merabu di Kabupaten Berau menjadi satu-satunya kampung di pedalaman Kaltim yang memiliki dan mengelola PLTS.  Foto: Dokumentasi Franly Oley
Komunitas Kita

Kampung Merabu, Wisata Alam dan Modernitas di Kaki Karst

  •   IBUKOTAKINI.COM – Keberhasilan warga Desa Merabu, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau mengembangkan ekowisata tak hanya mampu menarik minat wisatawan.
Komunitas Kita
Ferry Cahyanti

Ferry Cahyanti

Author

IBUKOTAKINI.COM – Keberhasilan warga Kampung Merabu, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau mengembangkan ekowisata tak hanya mampu menarik minat wisatawan. Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memasukkan kampung ini dalam 300 Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2022.

Desa di kaki pegunungan karst ini memiliki objek wisata yang memikat. Yang paling utama Goa Beloyot. Goa ini menyimpan jejak manusia dan binatang purba berupa cap tapak tangan pada dinding goa yang diperkirakan berusia lebih dari 4.000 tahun. 

Kemudian Danau Nya’deng, danau di tengah-tengah hutan kaki pergunungan karst. Atau wisata Puri Kerima Institute yang menyimpan peninggalan prasejarah seperti  kayu dan fosil, souvenir  kerajinan tangan,  dan hasil penelitian dari  The Nature Conservation (TNC) berupa road map tempat wisata dan keanekaragaman satwa dilindungi yang diperuntukan bagi pengetahuan publik. 

Dalam beberapa tahun terakhir ini, para pelancong, baik dari dalam maupun luar negeri, kerap mengunjungi desa pedalaman itu.   

BACA JUGA:

Jumlah wisatawan yang terdata tahun 2017 tercatat 250 orang yang terdiri dari  200 pelancong lokal, dan sisanya  wisatawan mancanegara. Mereka datang dengan berbagai keperluan seperti penelitian, pelacakan, studi banding, outbond, dan hiburan. 

Lalu bagaimana desa sejauh 74 kilometer dari pusat ibu kota Kabupaten Berau, Tanjung Redeb, dikenal pelancong hingga mancanegara? 

Perkembangan Merabu ternyata tak bisa dipisahkan dari seorang perantau: Franly Aprilano Oley (33). Pria kelahiran Minahasa Selatan, Sulawesi Utara itu berhasil mengubah nasib desa Merabu.

Kepala Kampung Merabu tahun 2012 itu berhasil mengusulkan  pengalihan status kawasan Hutan Lindung menjadi Hutan Desa. Usulan status kawasan itu dianggap progresif, karena desa-desa sekitar sedang mengusulkan hak pengelolaan lahan untuk kawasan perkebunan sawit. 

BACA JUGA:

“Pada saat itu kampung Merabu jadi spesial dari mata pemerintah daerah, apalagi bagi masyarakat dari luar daerah.  Karena sebenarnya kampung sekeliling kami itu, sedang berusaha mengubah status kawasan untuk HPL menjadi perkebunan kelapa sawit,” kata Franly, baru-baru ini. 

Menurut Franly, pada saat itu pemerintah baru membahas skema perhutanan sosial yang baru dicanangkan. Ada beberapa skema perhutanan sosial, salah satunya Hutan Desa. 

Dengan dibantu para relawan TNC, Franly menyusun rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) Kampung Merabu. 

Pada saat itu ia mengusulkan 10 ribu kawasan hutan lindung menjadi hutan desa. Usulan itu sempat menjadi pertanyaan di tingkat kabupaten maupun provinsi. 

“Yang menjadi bahan pertanyaan adalah kenapa harus mengusulkan  pengalihan status, padahal perubahan status tidak mengubah fungsi hutan,” imbuh Franly. 

BACA JUGA:

Penerima penghargaan Satu Indonesia Awards 2018 dari Astra Internasional ini mengakui  status Hutan Desa tidak mengubah fungsi. Masyarakat tetap dilarang menebang pohon, menanam pohon sembarangan, serta hanya bisa memanfaatkan hasil hutan bukan kayu. Seperti madu, tempat wisata, rotan dan sebagainya.

“Cuma bedanya legalitas Hutan Desa semacam STNK, bisa kita kelola sesuai fungsinya. Kita nggak bisa nebang pohon, nggak bisa nanam sembarang. Dan benar, sekarang negara gencar memberikan legalitas supaya bikin usaha nggak akan sulit,” jelas Franly.

Usulan itu akhirnya disetujui. Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 28/Menhut-II/2014 tanggal 9 Januari 2014, tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Merabu seluas 8.245 hektare.

Kampung Merabu menjadi kampung pertama di Kaltim yang memiliki Hutan Desa. Keberhasilan itu tersiar hingga ke luar negeri. Pada 2016 Kampugn Merabu dapat reward pembangunan PLTS berkapasitas 300 kWp yang bisa dipakai 20 tahun lebih. 

Bantuan itu berasal dari MCAI atau Millenium Challenge Account Indonesia. Sebuah lembaga nirlaba asal Amerika. Bantuan dengan nilai sekitar Rp 30 miliar itu berwujud Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di atas lahan 1 hektar yang berisi 115 panel. Daya puncak atau peak hours  yang diproduksi mencapai 311 kw. 

BACA JUGA:

Mereka juga memberikan jaringan sampai dalam rumah, meteran token, dan lain sebagainya. 

“Kami memakainya seperti di kota juga. (Bedanya) di sini kami tak pakai limiter. Jadi bebas dipakai buat apa saja dan bisa digunakan terus menerus dengan sistem prabayar,” jelasnya. 

PLTS itu dihibahkan ke kampung dan telah menjadi wilayah usaha ke kementerian. Untuk mengelola PLTS itu, dibentuk perusahaan PT Sinang Puri Energi dengan kepemilihan 51 persen warga Merabu melalui Badan Usaha Milik Kampung (BUMK), sisanya milik develpoer PT Akuo Energi. 

PT  Akuo  Energi merupakan kontraktor yang membangun PLTS yang dipercaya MCAI mengelola sampai 20 tahun. Saham mereka hanya fecara formalitas, karena hasil usaha keseluruhan dikelola BUMK. 

“Semua hasil usaha untuk membiaya produksi, pemeliharaan, operasional. Tak ada fee ke Akuo Energi,” ujar Franly yang menjadi kepala operasional. 

Dalam sebulan penggunaan listrik warga Kampung Merabu mencapai Rp 12 juta. Keberadaan PLTS itulah, yang menurut Franly, ikut mendorong kesejahteraan masyarakat Merabu. Masyarakat memanfaatkan listrik untuk pertukangan, memproduksi meubel, membuat oleh-oleh untuk pengunjung, dan ekonomi kreatif lainnya.

Di antara desa-desa di Kalimantan Timur, Merabu adaah satu-satunya kampung yang memiliki dan mengelola pembangkit listrik sendiri. Semuanya bermodalkan kepedulian mereka terhadap lingkungan. ###