Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Inisiasi Kemenkes Dinilai Matikan Usaha Kreatif
Ekbis

Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Inisiasi Kemenkes Dinilai Matikan Usaha Kreatif

  • Adanya aturan baru inisiatif Kemenkes yakni kemasan rokok polos tanpa merek menjadi polemik baru bagi perusahaan yang menjalankan usahanya secara legal.
Ekbis
Redaksi

Redaksi

Author

JAKARTA - Asosiasi periklanan menilai upaya pemerintah dalam menekan prevalensi perokok anak lewat Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tidak tepat.

Salah satu usulan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang paling disoroti saat ini yaitu standardisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek yang dianggap akan berimbas ke dalam ekosistem industri  pertembakauan, salah satunya industri kreatif yang telah menjadi lapangan pekerjaan bagi jutaan tenaga kerja.

Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Janoe Arijanto mengatakan, selama ini produk tembakau menjadi penyumbang pendapatan terbesar bagi periklanan, yang mana jika aturan pembatasan iklan diberlakukan yaitu dengan zonasi iklan media luar ruang radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, maka keberadaan pengusaha dan tenaga kerjanya akan terancam.

“PP ini telah dan sudah mempengaruhi revenue kawan-kawan karena perpanjangan iklan sekarang sudah mundur, termasuk untuk memasang baru. Kepastian hukum dan definisi hukum radius 500 meter harus dijelaskan karena kalau dilihat, jarak 500 meter sendiri tak ada lagi blind spot dan seperti melarang total. Padahal tembakau adalah produk yang sah dan legal dikonsumsi,” ungkapnya dalam dalam konferensi pers “Pernyataan Bersama Asosiasi Perusahaan Media Luar-Griya Indonesia: Tolak PP 28/2024 dan RPMK” di Jakarta pada 18 September 2024.

Janoe juga menilai adanya aturan baru inisiatif Kemenkes yakni kemasan rokok polos tanpa merek menjadi polemik baru bagi perusahaan yang menjalankan usahanya secara legal. Menurut Janoe, identitas sebuah merek atau brand terletak dari kemasannya sehingga informasi yang semestinya diketahui konsumen, menjadi hilang bersamaan dengan hak perusahaan tembakau untuk berusaha, menjual dan memasarkan produknya ke publik.

BACA JUGA:

Hal ini dianggap tidak sejalan dengan pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar tidak membuat kebijakan ekstrem yang dapat menimbulkan gejolak masa transisi pemerintahan. Presiden Jokowi juga menekankan untuk menjaga situasi yang kondusif demi menjaga stabilitas pembangunan, dalam hal ini menjaga daya beli masyarakat, inflasi, pertumbuhan, keamanan, ketertiban.

“Kemasan rokok polos tanpa merek yang mudah ditiru oleh produk illegal inilah yang harus kita sikapi bersama karena nantinya akan berpengaruh langsung ke usaha, terutama iklan. Karena kebanyakan dari 10 iklan, 7 di antaranya berasal dari produk tembakau sehingga berdampak pada hilangnya revenue iklan hingga 70 persen. Ini ada multiplier effectnya,” terangnya.

Sementara dari pihak media luar ruang yang terdampak, Ketua Umum Asosiasi Media Luar-Griya (AMLI) Fabianus Bernadi menjelaskan selama ini industri media luar ruang sudah terdampak sejak Kemenkes menginisiasi PP 28/2024 tahun lalu.

“Sekarang ada turunan PP 28 khusus kemasan polos yaitu RPMK di mana ada bagian pengamanan produk tembakau dan elektrik lewat kemasan rokok polos tanpa merek. Kalau produk tembakau ini tak ada identitas, lalu apa yang mau diiklankan? Ini justru malah menghilangkan poin penting dari suatu iklan,” ucapnya.

Fabianus memaparkan dari 79 persen pengiklan yang boleh mengiklankan produk tembakau, 86 persen akan terdampak langsung dari aturan ini. Terdapat penurunan pendapatan sekitar 50 persen dan aturan yang belum disahkan ini sebelumnya telah menekan bisnis iklan media luar ruang yang menggunakan sistem sewa 6 bulan sampai setahun kedepan.

Fabianus juga menyayangkan pembatasan penayangan iklan di Videotron yang disamakan dengan TV yaitu hanya di jam 00.00-05.00 pagi.

“Kontribusi iklan media luar ruang ke PAD cukup besar. Oleh karena itu kami akan membuat pernyataan bersama berdasarkan data yang sudah dikaji bersama dengan pelaku usaha luar kota, DPI dan beberapa bidang legal kita. Kita menyatakan pernyataan bersama,” tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Manajemen Industri Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI Syaifullah Agam sepakat bahwa masukan publik, baik dari sisi pro maupun kontra, perlu untuk disuarakan. Termasuk jika berbagai pihak merasa dirugikan dari suatu kebijakan, maka mereka berhak mengajukan keberatannya dan mencari win win solutionnya seperti apa.

“Dalam membuat kebijakan yang mengatur masyarakat, harusnya ada public hearing dan ada langkah kedepannya, ini penting untuk melibatkan semua pihak. Kita yang dirugikan membutuhkan audiensi untuk melihat naskahnya karena itu mereveal kenapa dibuat begitu, ada alasannya. Ini yang mungkin bisa di challenge,” ujarnya.

Syaiful juga menyoroti dampak yang akan terjadi jika kemasan rokok polos tanpa merek diberlakukan karena ini akan meningkatkan produk ilegal yang dapat dengan mudah membuat produk polosan. Padahal menurutnya, brand merupakan citra dari suatu produk yang sulit dibangun dengan biaya yang tidak kecil juga.

“Kita perlu mencari solusi yang bisa memberikan kenyamanan seluruh pihak. Karena tujuan dari ini seperti yang disampaikan semestinya bukan untuk membatasi tapi untuk mendorong kesehatan masyarakat. Karena jika begitu, nanti yang ada malah merugikan banyak pihak. Ini bisa dilakukan dengan komunikasi dan mencoba peluang yang bisa dimanfaatkan,” pungkasnya. ***