Koalisi masyarakat sipil menolak rencana perubahan Perda RTRW Kaltim. Dibahas tanpa melibatkan masyaraat terdampak. Foto: Lansekap Kota Balikpapan/ Ibukotakini.com
Kabar Ibu Kota

Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Revisi Perda Rencana Tata Ruang Kaltim

  • IBUKOTAKINI.COM - Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur mendesak pemerintah dan DPRD menghentikan rencana revisi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kal
Kabar Ibu Kota
Redaksi

Redaksi

Author

IBUKOTAKINI.COM - Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur mendesak pemerintah dan DPRD menghentikan rencana revisi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kaltim 2022 – 2042. Penolakan disampaikan lantaran pembahasan dilakukan tanpa adanya pelibatan warga yang terdampak atas kebijakan itu. 

Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim terdiri dari WALHI Kaltim, Jatam Kaltim, Pokja 30, dan AMAN Kaltim. 

Kelompok sipil ini kecewa dengan draf rancangan perda RTRW Kaltim yang berdampak negatif terhadap masyarakat. “Draft rancangan perda revisi ini dibuat secara instan dan tak melibatkan seluruh masyarakat Kalimantan Timur dalam perumusan hingga pembahasannya,” kata anggota koalisi, Buyung Marajo. 

Menurut Buyung Marajo, sejak tahun 2016 mereka mereka telah mengkritisi Perda RTRWP Kaltim Nomor 1 Tahun 2016 sebelum disahkan, tapi tidak didengarkan. Setelah 5 tahun berlalu, hal ini kembali terulang dalam rangkaian peninjauan atas RTRW Kaltim.

Koordinator Pokja 30 Kaltim ini menilai bahwa perumusan Raperda RTRWP Kaltim cacat prosedural maupun subtansial. Sebab masih menggunakan konsideran Undang-Undang Cipta Kerja dalam menyusun Raperda RTRW yang melawan atau membangkang dari Putusan Mahkamah Konstitusi 91.

“Mandat Putusan MK 91 adalah tidak boleh membuat regulasi turunan dari UU Cipta Kerja sampai adanya perbaikan,” ungkapnya.

BACA JUGA:

Ketua BPH AMAN Kaltim, Saiduan Nyuk menginginkan  keterlibatan publik dalam menyusun revisi RTRW Kaltim, tapi waktu yang diberikan tidak layak beserta kelengkapan dokumennya. 

“Kami dipaksa mempelajari, mengerti, dan memahami 501 halaman draft Raperda revisi RTRWP Kaltim dalam jangka waktu 4 hari tanpa dokumen KLHS,” ungkapnya.

Saiduan menyebut materi yang dibahwas berkaitan langsung dengan penataan ruang hidup dan wilayah kelola masyarakat Kaltim, dimana AMAN Kaltim sendiri pun juga harus berdiskusi dengan 72 Komunitas anggota masyarakat adat tersebar di 7 kabupaten di Kaltim.

“Ini menunjukkan, tim perumus itu tidak melakukan pelibatan aktif dari publik sejak perumusan hingga pembahasan,” imbuh Saiduan dikutip dari NiagaAsia.

Selanjutnya, Eta dari Jatam Kaltim,mengungkapkan bahwa, secara substansi Raperda ini disusun dengan kajian yang tidak menggunakan pendekatan prinsip keadilan ruang. Hal ini terbukti dari pembagian pola ruang yang tidak proporsional antara  fungsi lindung dan fungsi budidaya.

“Raperda RTRWP yang mengalokasi hanya 2 juta sekian untuk fungsi lindung, sedangkan untuk fungsi budidaya sebesar 12 juta sekian. Apalagi, melihat lampiran peta kawasan pertambangan mineral dan batu bara, hampir seluruh wilayah Provinsi Kaltim dialokasikan untuk pertambangan,” ungkap Eta.

“Alih-alih menghitung kemampuan ruang Kaltim secara proporsional, Raperda berencana menguras habis kempuan daya dukung dan daya tamping lingkungan Kaltim,” sambungnya.

Apabila ditelusur lebih jauh, kata Eta, bahkan terjadi penyusutan kawasan lindung Provinsi Kaltim yang signifikan dibandingkan dengan yang telah dialokasikan dalam Perda RTRWP sebelumnya.

Sementara Direktur WALHI KAltim, Yohana Tiko mengungkapkan kekhawatirannya jika pembahasan Raperda RTRWP Kaltim ini tetap dipaksakan sampai pengesahan, maka dalam kurun waktu 5 tahun mendatang akan menjadi senjata pemusnah bagi wilayah kelola rakyat dan ruang hidup Kaltim.

“Pembagian pola ruang yang dominan pada fungsi budidaya di Provinsi Kaltim akan menggiring provinsi ini menuju kehancuran sosio – ekologis ke depan,”  imbuhnya.

Draf revisi rancangan perda RTRWP ini justru bertolak belakang dengan komitmen Presiden Joko Widodo di KTT perubahan iklim, Paris 7 (tujuh) tahun yang lalu terkait komitmen Indonesia mengawal agar suhu tidak melebihi dari 1,5 derajat celcius.

Sementara problem Kaltim adalah provinsi ini yang paling tinggi dalam pelepasan karbon, makanya tidak heran di tahun 2021 kaltim menduduki peringkat pertama tingginya suhu di kisaran 38,4 derajat celsius, hal itu walhi kaltim yakini diakibatkan pembukaan secara massif. Maka tidak mengherankan, 60% bencana yang terjadi di Kaltim adalah banjir.

“Banjir ini, akumulasi dari tidak adanya keadilan ruang hidup dalam peruntukan tata ruang yang sebelumnya di kaltim,” tegasnya. ###