
Menakar Ulang Strategi ‘Sell in May and Go Away’ di Tengah Volatilitas Pasar Global
- Investor harus memahami bahwa pasar Indonesia memiliki karakteristik unik yang tidak selalu selaras dengan tren pasar negara maju.
Ekbis
IBUKOTAKINI.COM – Menjelang bulan Mei, satu adagium klasik kembali mencuat di kalangan investor pasar modal: “Sell in May and Go Away.” Pepatah kuno ini, yang populer di dunia Barat, menyarankan investor untuk menjual saham mereka sebelum musim panas dan kembali ke pasar sekitar bulan November. Namun, di tengah gejolak pasar global saat ini, strategi tersebut perlu dikaji ulang dengan pendekatan yang lebih cermat dan kontekstual.
Mengutip akar sejarahnya, istilah ini berasal dari Inggris dengan versi lengkap “Sell in May and go away, and come back on St. Leger's Day.” Pada masa lalu, para bangsawan, pedagang, dan bankir di London meninggalkan kota selama musim panas dan baru kembali pada bulan September untuk menghadiri acara balap kuda prestisius, St. Leger's Day, di Doncaster.
Secara historis, ada pola bahwa kinerja pasar saham cenderung lebih lemah pada periode Mei hingga Oktober dibandingkan November hingga April. Namun kini, lanskap pasar sudah berubah secara drastis.
“Kita tengah berlayar di tengah samudra volatilitas yang tinggi, dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi global, kebijakan moneter yang berubah cepat, serta ketegangan geopolitik yang terus berlangsung,” ungkap Head of IPOT Fund, Dody Mardiansyah pada Sabtu, 3 Mei 2025.
Menurut Dody, dalam situasi global yang serba tidak pasti, adagium seperti “Sell in May” tidak bisa dijadikan acuan mutlak dalam mengambil keputusan investasi. Ia menekankan pentingnya kehati-hatian, ketepatan analisis, serta disiplin dalam manajemen risiko.
BACA JUGA:
Harga TBS Sawit Kaltim Naik, Berikut Rinciannya - ibukotakini.com
“Meskipun catatan historis memang menunjukkan pola musiman di beberapa pasar, keputusan investasi sebaiknya tidak hanya berpatokan pada istilah tersebut,” tegasnya.
Ia menambahkan, investor harus memahami bahwa pasar Indonesia memiliki karakteristik unik yang tidak selalu selaras dengan tren pasar negara maju. Oleh karena itu, strategi investasi perlu disesuaikan dengan data dan dinamika lokal.
Di tengah gejolak ini, Dody menyarankan investor untuk lebih bijak dalam menempatkan dananya. Menyimpan dana di Rekening Dana Nasabah (RDN) mungkin terasa aman, tetapi return-nya sangat kecil. Sementara deposito memberikan return 3–4% per tahun, tapi potongannya cukup signifikan setelah pajak dan penalti pencairan dini.
Sebagai alternatif, Reksa Dana Pasar Uang (RDPU) dinilai menjadi pilihan menarik. “RDPU menawarkan fleksibilitas, likuiditas tinggi, dan return yang relatif lebih baik. Dana dikelola oleh manajer investasi profesional yang membantu meminimalisasi risiko,” jelasnya.
Melalui platform IPOT Fund dari PT Indo Premier Sekuritas, investor dapat menjelajahi berbagai pilihan RDPU yang sesuai dengan kebutuhan dan profil risiko mereka.
“Dengan strategi yang tepat dan instrumen yang fleksibel seperti RDPU, investor bisa tetap tenang menghadapi dinamika pasar. Saat momentum membaik, mereka bisa lebih siap untuk kembali masuk ke pasar saham,” pungkas Dody. ***