Raja Ampat
Politik

Menunggu Raja Ampat yang Menyejahterakan

  • Dibalik pesona alam dan kedudukannya sebagai Global Geopark UNESCO, Raja Ampat kini tengah menghadapi suatu tantangan besar, yakni ancaman tambang nikel yang perlahan menggerogoti keutuhan ekologis serta budaya masyarakat lokal.
Politik
Redaksi

Redaksi

Author

Penulis: Belva Safina Winasis 

Raja Ampat, yang terletak di Papua Barat Daya dikenal sebagai salah satu surga dunia karena keindahan alamnya yang menakjubkan. Berbagai media internasional memberikan perhatian khusus terhadap Raja Ampat dengan memujinya sebagai ekosistem laut yang sangat beragam, pantai-pantainya yang memukau, serta hutan tropis yang menjadi habitat salah satu burung cendrawasih.  

Pada tahun ini Raja Ampat masuk dalam daftar “52 Places to Go in 2025” versi New York Times dan “Best of The World 2025” dari National Geographic. Penghargaan ini kian menegaskan posisi Raja Ampat sebagai destinasi wisata unggulan dunia sekaligus kawasan konservasi penting di Indonesia. 

 Namun, dibalik pesona alam dan kedudukannya sebagai Global Geopark UNESCO, Raja Ampat kini tengah menghadapi suatu tantangan besar, yakni ancaman tambang nikel yang perlahan menggerogoti keutuhan ekologis serta budaya masyarakat lokal. Aktivitas pertambangan terus mengancam kerusakan terumbu karang, pencemaran air, dan degradasi hutan mangrove yang berfungsi sebagai pelindung pesisir dan tempat berkembang biak ikan-ikan muda.  

Beragam fakta juga menunjukkan bahwa aktivitas tambang tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati yang menjadi ciri khas kawasan ini, tetapi juga mengganggu kelangsungan mata pencaharian masyarakat setempat yang bergantung pada sumber daya laut. Sedimentasi dan limbah tambang berpotensi merusak kualitas air dan ekosistem laut, yang pada akhirnya mengancam kelangsungan sektor pariwisata yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal. 

Permasalahan mengenai pertambangan nikel memicu kegaduhan nasional hingga menjadi sorotan publik dengan kampanye #SaveRajaAmpat di platform media sosial. Sejumlah perusahaan tambang dinilai telah melanggar peraturan lingkungan, mengancam kelestarian hutan dan ekosistem laut yang kian menjadi kehidupan bagi masyarakat setempat.  

Aksi penolakan ini mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan, termasuk aktivis lingkungan seperti Greenpeace Indonesia yang secara vokal menyoroti dampak negatif pertambangan di kawasan tersebut. Dalam sebuah aksi yang berlangsung di Jakarta, para aktivis dan pemuda Papua membentangkan spanduk dengan pesan kritis terhadap tambang nikel, menarik perhatian publik dan media nasional. 

Temuan Greenpeace mengungkapkan aktivitas penambangan nikel di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran telah menyebabkan kerusakan ekosistem secara masif, dengan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami yang hilang. Dokumentasi lapangan juga memperlihatkan terjadinya limpasan tanah yang mengarah ke pesisir, memicu sedimentasi akibat pembukaan lahan besar-besaran dan proses pengerukan. Hal ini menunjukkan dampak lingkungan yang paling nyata adalah meningkatnya sedimentasi akibat pembukaan lahan tambang yang menyebabkan lumpur dan limbah mengalir ke wilayah pesisir.  

Konsistensi Kebijakan Pemerintah 

Polemik yang terjadi di Raja Ampat membuat pemerintah akhirnya bersikap. Pada bulan Juni 2025, pemerintah secara resmi mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat. Keempat IUP yang dicabut tersebut adalah milik PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Anugerah Surya Utama, dan PT Nurham. Alasan utama pencabutan ini adalah: Pertama, pelanggaran lingkungan.  

Beberapa perusahaan terbukti melakukan aktivitas yang merusak ekosistem Raja Ampat, seperti sedimentasi dan pencemaran laut. Kedua, masuk Kawasan Geopark. Sebagian wilayah konsesi perusahaan tersebut ternyata masuk dalam kawasan Geopark Raja Ampat, yang seharusnya dilindungi ketat karena statusnya sebagai warisan alam dunia. Izin-izin ini diberikan sebelum penetapan Geopark Raja Ampat pada tahun 2023. 

Ketiga adanya aspirasi daerah dan masyarakat. Keputusan ini juga mempertimbangkan masukan dari pemerintah daerah dan tokoh masyarakat yang menolak aktivitas tambang di wilayah tersebut.

Keempat,  proyek tambang tersebut tidak memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB): Empat perusahaan yang dicabut izinnya tidak mengajukan RKAB tahun 2025, yang merupakan salah satu persyaratan penting untuk beroperasi. 

Sementara satu proyek tambang nikel milik PT Gag Nikel tidak dicabut dan hanya dilakukan pengawasan ketat. Perlakuan berbeda terhadap PT Gag Nikel ini disebabkan perusahaan memiliki Kontrak Karya (KK) yang berstatus berbeda dengan IUP, sehingga pencabutannya tidak bisa dilakukan secara sepihak.  

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi dan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa keputusan pencabutan ijin sejumlah perusahaan tambang nikel di sekitar Raja Ampat diambil atas petunjuk Presiden dan merupakan bagian dari upaya penataan kawasan hutan dan pertambangan yang telah dievaluasi sejak Februari 2025. 

Kini masyarakat dan dunia menunggu dengan harap-harap cemas. Akankah sikap tegas pemerintah ini hanya keras diatas kertas? Atau justru menjadi pendorong bagi terlindunginya kawasan Raja Ampat dari aktivitas tambang yang selama bertahun-tahun terbukti merusak dan tidak menciptakan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi masyarakat sekitarnya. Tentu akan berbeda jika kawasan Raja Ampat senantiasa terlindungi dan tetap difungsikan sebagai kawasan wisata serta area konservasi. Puluhan tahun, bahkan ratusan tahun ke depan berbagai generasi akan menikmati keindahan dan tentu dampak ekonomi yang berkelanjutan.  

Paling tidak ada tiga aspek yang bisa dinikmati masyarakat jika Raja Ampat terus terjaga kelestariannya. Pertama, menjadi sumber  pendapatan daerah. Pemerintah Kabupaten Raja Ampat menyebut kontribusi kawasan wisata Raja Ampat terhadap pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2024 mencapai Rp 124 miliar. 

 Kedua, sumber pendapatan masyarakat. Konservasi Indonesia bersama UNPATTI dan UNIPA pada tahun 2017 mengestimasikan bahwa total nilai wisata keseluruhan Raja Ampat diperkirakan mencapai US$ 52,5 juta (sekitar Rp 854 miliar) per tahun (dengan asumsi kurs Rp 16.270/USD per 27 Juni 2025). Angka ini mencakup efek trickle-down dan multiplier effect dari sektor wisata yang diperkirakan mencapai US$ 31,5 juta. 

Ketiga, dampak lingkungan. Raja Ampat menyerap 6,4 juta ton CO2 per tahun melalui ekosistem blue carbon-nya (terutama mangrove dan lamun). Nilai ekonomi dari penyerapan karbon ini dalam skema perdagangan karbon global diperkirakan mencapai US$ 384 juta (sekitar Rp 6,2 triliun) per tahun.  

Dengan memahami kepentingan yang lebih luas, menjaga warisan alam Raja Ampat buat kelangsungan ekonomi dan generasi mendatang tentunya menjadi kebijakan yang tidak bisa ditawar lagi. Semoga.