Para menteri kabinet Merah Putih mengikuti kegiatan di Magelang Jawa Tengah. Tak ada menteri dari Kaltim.
Politik

Menyoal Menteri dari Kaltim

  • Padahal Kaltim punya beberapa kelebihan yang bisa menjadi unsur pertimbangan presiden.
Politik
Admin

Admin

Author

Catatan Rizal Effendi

TULISAN saya berjudul “Menggugah Menteri dari IKN” mendapat tanggapan dari beberapa pihak. Tulisan itu di antaranya mengangkat pernyataan Forum Masyarakat Kaltim Menggugah (FMKM) berkaitan dengan tidak adanya menteri atau wakil menteri dari Kaltim dalam Kabinet Merah Putih yang dibentuk Presiden Prabowo Subianto.

FMKM juga memaparkan hasil inventarisasinya beberapa nama tokoh dari Kaltim yang dianggap memenuhi kriteria duduk di kursi menteri, wamen atau badan setingkat menteri. 

Misalnya Rektor Unmul Prof Abdunnur, Rektor Universitas Mulia Prof Muhammad M Ahsin Rifai, mantan gubernur Kaltara Dr Irianto Lambrie, mantan wakil ketua DPD RI Dr Mahyudin, mantan dirjen Desa Dr M Nurdin, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Prof Kamaruddin Amin dan beberapa nama lainnya lagi.

Saya lihat ada beberapa komentar di dua WA Group. Yang satu bilang jika tokoh kita punya prestasi dan kelayakan, tanpa diusulkan pun pasti dipilih. 

Dia juga menyarankan, sebaiknya digunakan metode ilmiah atau penelitian dalam menentukan calon menteri dari daerah ini. Sebab dengan calon atau nama yang beredar sekarang belum tentu masyarakat Kaltim setuju. “Jangan seakan-akan seperti Baperjakat,” katanya menyindir.

Dalam WA Group yang lain juga ada pihak yang menggugat nama yang diajukan.  “Kalau berjuang untuk dapat posisi menteri, kemudian menyodorkan sejumlah nama, pertanyaannya ini berjuang untuk siapa? Kepentingan Kaltim atau kepentingan nama-nama yang ada. “Ukuran layak ini apa ya? Survei atau mungkin ada cara yang lain,” tanyanya begitu.

Kita sudah mahfum, pengangkatan dan pemberhentian menteri adalah hak prerogatif presiden. Artinya ini hak istimewa, yang tidak bisa diganggu gugat pihak lain. 

Tapi supaya tidak salah pilih, maka biasanya presiden sebelum menentukan pilihan, dia dibantu tim kepercayaannya menginventarisir nama-nama calon atau tokoh yang akan dijaring.

Bahan baku nama-nama itu dihimpun dengan berbagai cara. Ada usulan dari presiden sendiri. Dari partai-partai pendukung. Dari berbagai lembaga pemerintah baik sipil maupun militer. 

Dari kalangan pakar atau akademisi. Dari lembaga-lembaga masyarakat. Dari kalangan pebisnis atau dunia usaha. Dari tokoh agama. Dari tokoh-tokoh daerah. Dari tim relawan serta dari berbagai sumber lainnya.

Nama-nama yang masuk ke tim presiden itu, ada yang langsung dari hasil pengamatan, ada yang diminta ke berbagai lembaga dan organisasi, tapi ada juga usulan yang disampaikan oleh berbagai pemangku kepentingan. 

Termasuk perorangan. Jadi mengajukan nama itu tidak salah. Bahkan dari informasi yang ada, usulan yang memasukkan nama itu jumlahnya sangat banyak.

Tim lalu melakukan penggodokan dan seleksi. Pertama, dilihat berdasarkan persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang. Berdasarkan UU No 39 Tahun 2008,  untuk dapat diangkat menjadi  menteri, seseorang harus memenuhi 6 persyaratan.

Yakni, berstatus WNI; Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Setia kepada Pancasila  sebagai dasar negara, UUD 1945, dan cita-cita proklamasi kemerdekaan; Sehat jasmani dan Rohani; Memiliki integritas dan kepribadian yang baik; Serta tidak pernah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindakan pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun.

Kalau si calon lolos dari persyaratan dasar, baru ditindaklanjuti ke persyaratan lain. Biasanya berkaitan dengan rekam jejak si calon terutama soal kemampuan, kepakaran, pengalaman dan integritas termasuk ideologi dan asal-usul dari mana dia dicalonkan.

Pada era Jokowi jadi presiden periode pertama, dia juga meminta bantuan KPK dan PPATK untuk mengecek tingkat “kebersihan” si calon pada kasus-kasus beraroma korupsi.

Ketika nama-nama itu sudah sampai ke tangan presiden, maka ada beberapa pertimbangan khusus yang dilakukan presiden dalam menentukan atau menetapkan pilihannya. Biasanya berkaitan dengan soal loyalitas, kedekatan, keterwakilan, kepakaran sampai kepopuleran.

Kalau kita lihat tokoh yang terpilih dari Kabinet Merah Putih, maka terlihat pertimbangan itu. Misalnya hampir semua menko adalah wakil dari partai pengusung terutama ketua umumnya.

Lalu ada unsur dari kepolisian. Setidaknya ada 3 nama terpilih. Yaitu Mendagri Tito Karnavian, Menko Politik dan Keamanan Budi Gunawan serta Wakapolri Agus Andrianto yang diangkat menjadi Menteri Imigrasi

Sedang dari unsur TNI ada nama  Sjafrie Sjamsoeddin. Dia diangkat menjadi Menteri Pertahanan. Juga Iftitah Suryanegara yang diangkat sebagai Menteri Transmigrasi. Kepala BIN yang baru Herindra,  sebelumnya adalah Wakil Menhan.

Dari unsur keagamaan ada Nasaruddin Umar yang dipercaya menjadi Menteri Agama. Dari unsur organisasi keagamaan ada Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti dari Muhammadiyah dan Wamen Perlindungan Pekerja Migran Dzulfikar Andi Tawalla yang mulanya ketua PP Pemuda Muhammadiyah. 

Kemudian ada Menteri Sosial Saifullah Yusuf dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlidungan Anak Arifatul Chori Fauzi dari unsur Nahdlatul Ulama (NU).

Dari kalangan pengusaha, ada nama Menteri Pariwisata Widiyanti Putri, Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BPM Rosan Roeslani dan Menteri BUMN Erick Thohir.

Dari kalangan akademisi terdapat nama Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi Satrio Sumantri Brodjonegoro, Wamennya Stella Christie,  Menteri Ketenagakerjaan Yassieli, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Rachmat Pambudy.

Nama Stella lagi viral. Dia ilmuwan kognitif asal Medan. Usianya baru 45 tahun. Lulusan Harvard University dan Northwestern University, AS. Menjadi guru besar bidang psikologi kognitif di Tsinghua University, Beijing.

Ada juga yang dipilih Prabowo dari unsur keterwakilan daerah. Biasanya untuk Aceh dan Papua selalu dapat jatah. Nama Natalius Pigai yang menjadi Menteri HAM dan Ribka Haluk yang menjadi Wamen Kemendagri, selain kepakarannya juga ada pertimbangan unsur daerah.

Dari unsur kedekatan, ada nama Menteri Luar Negeri Sugiono. Dia pensiun dini dari TNI dengan pangkat Letnan Satu.  Dia lahir dari dataran tinggi Gayo, Aceh. Lama ikut Prabowo sampai disebut “anak ideologis” Prabowo. Makanya dia dipercaya jadi menteri. 

Juga Mensesneg Prasetyo Hadi dan Mayor Teddy Indra Wijaya dari ajudan diangkat menjadi Sekretaris Kabinet (Seskab).

Ada yang menyebut keterpilihan Raffi Ahmad sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni lebih banyak karena faktor kepopulerannya. Sebelum dipilih Prabowo, dia sudah ikut lama di barisan Presiden Jokowi.

BAGAIMANA DENGAN KALTIM?

Rasanya kita semua punya perasaan yang sama, sedih dan prihatin karena dari 100 lebih anggota Kabinet Merah Putih tidak ada satu pun berasal dari Kaltim. Justru provinsi tetangga seperti Kalbar dan Kalsel masih lumayan ada yang masuk.

Padahal Kaltim punya beberapa kelebihan yang bisa menjadi unsur pertimbangan presiden. Mulai kontribusi Kaltim kepada negara dilihat dari sumber daya alamnya (SDA) yang sangat besar sampai posisi Kaltim yang saat ini sangat strategis dengan dibangunnya Ibu Kota Nusantara (IKN).

Lalu kenapa Presiden Prabowo seakan tidak melirik wakil dari Kaltim? Apakah kapasitas tokoh Kaltim di bawah standar atau karena tidak ada kekuatan yang mengangkat atau memperjuangkan nama-nama dari daerah?

Pandangan kalau yang bersangkutan berprestasi dan layak tidak diusulkan pun tetap dipilih ada benarnya. Tapi yang juga harus diingat, orang-orang yang layak dan berprestasi sangat banyak di negeri ini. 

Jadi kalau tidak ada unsur yang mendorong atau meng-endorse-nya, maka bisa jadi dia tidak terlihat. Karena itu tetap dibutuhkan ada upaya mengangkatnya ke permukaan. Seperti kata pepatah bahasa Banjar perlu adanya ikhtiar untuk  “mengangkat batang yang tenggalam.”

Menurut Dr Agung Sakti Pribadi,  nama-nama yang dihimpun FMKM cukup mumpuni. Kuat dengan pengalaman. Punya kapasitas dan integritas. Visioner, serta bisa berkomunikasi dengan baik. Jadi wajar saja kalau FMKM mengusulkan nama-nama tersebut.

Apa yang dihimpun FMKM bisa jadi belum lengkap. Mungkin masih ada nama atau tokoh lain yang belum terangkat. Jadi usul adanya survei cukup relevan. Semakin banyak nama yang muncul, semakin baik untuk dijadikan pertimbangan.

Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) dalam acara jumpa pers di Jakarta juga menyatakan prihatin tidak ada tokoh Dayak Kalimantan yang masuk dalam Kabinet Merah Putih. 

Dari 4 nama yang diajukan MADN, 2 di antaranya juga diajukan FMKM yaitu Dr Marthin Billa dan Dr H Syaharie Jaang. Hal yang sama juga diusulkan oleh Dewan Adat Dayak Kaltim.

Pentingnya menyebut nama itu, bukan berarti yang bersangkutan punya kepentingan sendiri. Atau FMKM mau cari muka. Malah sebagian tokoh tersebut mungkin tidak tahu nama-namanya disebut.   

“Penyebutan nama itu dalam rangka memperkuat usulan kita bahwa Kaltim punya tokoh atau kader yang bisa dipertimbangkan,” kata Agung Sakti, salah seorang penggagas FMKM.

Saya tidak mengerti kok ada yang terganjal hatinya soal pengusulan nama-nama dari Kaltim. Kalau tidak suka yang nggak apa. Ini kan cuma sekadar usulan. Kalau mau mengusul sendiri, ya silakan. Mau survei baik juga. 

Yang penting kita berjuang bersama-sama untuk mengangkat nama Kaltim. Sebagai wakil rakyat, saya malah mendorong DPRD Kaltim agar bersuara.

Mungkin ada yang nggak enak kerongkongannya karena ada nama saya. Anggap saja itu tidak ada. Saya sendiri juga tak nyaman, dikira ge-er. Suer itu bukan saya yang mengajal. Saya itu cocoknya jadi “mantri” bukan menteri. 

Zaman dulu ada yang namanya mantri kesehatan atau mantri pasar. Itu sebenarnya nama jabatan untuk petugas lapangan. Tapi mantri kesehatan bisa nyuntik dan nyunat. Kalau saya mungkin mantri wartawan saja. Sambil mengisi waktu menulis. Syukur-syukur ada yang mau membaca. ***

(Wartawan senior Kaltim, Walikota Balikpapan 2011-2021)