Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, dan menteri  Imipas, Agus Adrianto, menyaksikan produksi FABA oleh warga binaan Lapas Nusakambangan.
Tekno

Nusakambangan Berdaya dengan Limbah FABA

  • Kerja sama Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, dengan PLN
Tekno
Is Wahyudi

Is Wahyudi

Author

IBUKOTAKINI.COM - Suasana Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, siang itu berbeda dari biasanya. Deru mesin bercampur suara ketukan besi terdengar dari sebuah bangunan sederhana di tepi lahan tidur. 

Di sana, belasan warga binaan tampak sibuk menata campuran abu, semen, dan pasir ke dalam cetakan. Tak lama, batako berwarna abu-abu pekat keluar dari mesin pencetak, rapi berjejer di atas lantai jemur.

Inilah wajah baru Nusakambangan. Pulau yang selama ini dikenal angker karena deretan lapas berkeamanan tinggi itu kini menjadi ruang pemberdayaan. Warga binaan bukan hanya menjalani masa hukuman, tapi juga membangun keterampilan hidup.

Limbah yang dipakai adalah FABA (fly ash dan bottom ash), sisa pembakaran batu bara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Adipala, Cilacap. Selama bertahun-tahun, FABA dipandang tak lebih dari residu yang mencemari lingkungan. Namun kini, abu itu justru berubah menjadi sumber kehidupan baru—bahan baku produk konstruksi bernilai ekonomi.

Dari Limbah Jadi Berkah

Di workshop pengolahan FABA, warga binaan dilatih membuat batako, paving block, roaster, hingga buis beton. Produk-produk ini punya pangsa pasar besar di dunia konstruksi, dari perumahan sederhana hingga proyek infrastruktur.

“Ilmu ini akan sangat berguna nanti ketika saya keluar. Kami bisa bekerja, bisa membuka usaha sendiri,” kata Kevin Ruben Rafael, warga binaan Lapas Terbuka Nusakambangan, dengan nada optimistis.

Hal serupa diungkapkan Listianto, warga binaan Lapas Nirbaya. Baginya, program ini lebih dari sekadar pelatihan keterampilan. “Alhamdulillah, saya bisa ikut. Saya ingin mandiri, saya ingin kembali ke masyarakat dengan menjadi pribadi yang lebih baik,” ujarnya.

Rasa syukur itu beralasan. Tak semua warga binaan punya kesempatan belajar keterampilan yang langsung terhubung dengan kebutuhan pasar. Program FABA memberikan pengalaman nyata, sekaligus membangun rasa percaya diri untuk memulai hidup baru.

Seorang warga binaan mengoperasikan mesin pencetak FABA.

Kolaborasi Pemerintah dan BUMN

Program ini lahir dari kerja sama Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) dengan PT PLN (Persero). PLN memasok bahan baku, mesin, hingga pendampingan teknis. Sementara pihak lapas mengatur pembinaan, manajemen produksi, serta memastikan warga binaan mendapat pelatihan terstruktur.

“Program ini merupakan model pelatihan kerja yang sedang kami galakkan. Warga binaan tidak boleh hanya menjalani hukuman, tapi juga harus dipersiapkan kembali ke masyarakat,” kata Menteri Imipas, Agus Andrianto, saat meninjau workshop FABA, Selasa, 9 September 2025.

Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menambahkan bahwa pemanfaatan FABA adalah contoh nyata ekonomi sirkuler. Limbah yang semula tak bernilai kini menciptakan produk baru yang bisa dipasarkan. “Kegiatan ini menciptakan lapangan kerja, memberi dampak positif bagi masyarakat, serta menghasilkan produk berkualitas dengan harga kompetitif,” ujarnya.

Menurut data PLN, workshop FABA di Nusakambangan dilengkapi dua unit mesin produksi. Kapasitasnya mencapai 2 juta paving block dan 1 juta batako per tahun. Jika seluruh kapasitas terserap pasar, omzetnya bisa menembus Rp5,4 miliar per tahun.

Dari Pulau Penjara ke Pusat Ekonomi

Hingga kini, tercatat 30 warga binaan terlibat aktif dalam workshop. Mereka dibekali keterampilan teknis, kedisiplinan kerja, hingga pengetahuan manajemen sederhana. Jumlah ini diyakini akan terus bertambah seiring konsistensi program.

“Kami sangat terkesan dengan kemampuan warga binaan. Produk mereka punya kualitas premium, setara bahkan lebih baik dibanding produk di pasaran,” ujar Darmawan. Ia optimistis Nusakambangan bisa menjadi episentrum industri kecil berbasis FABA.

Batako produksi warga binaan Lapas Nusakambangan berbahan baku FABA atau limbah batu bara.

Transformasi ini menandai perubahan besar citra Nusakambangan. Selama puluhan tahun, pulau itu identik dengan isolasi, jeruji besi, dan kisah eksekusi mati. Kini, narasi baru mulai tumbuh: lapas sebagai ruang pembinaan produktif.

Pakar kriminologi Universitas Diponegoro, Bambang Supriyadi, menilai program semacam ini penting untuk mengurangi stigma negatif terhadap eks napi. “Ketika mereka kembali ke masyarakat dengan keterampilan nyata, peluang residivisme berkurang. Mereka punya alternatif selain kembali ke dunia lama,” ujarnya.

Jalan Panjang Pemberdayaan

Meski begitu, perjalanan masih panjang. Tantangan terbesar adalah memastikan produk FABA benar-benar terserap pasar. Lapas bersama PLN perlu menggandeng lebih banyak mitra, termasuk kontraktor, pemerintah daerah, hingga sektor swasta. Tanpa akses pasar, produk berdaya saing sekalipun hanya akan menumpuk di gudang.

Selain itu, kesinambungan program harus dijaga. Warga binaan datang dan pergi, mengikuti masa hukuman. Regenerasi tenaga terampil menjadi kunci agar workshop tetap berjalan.

Namun, langkah awal Nusakambangan memberi harapan. Dari limbah yang dulu dipandang tak berguna, lahirlah peluang ekonomi baru. Dari balik tembok penjara, tumbuh semangat kemandirian.

“Ke depan, Nusakambangan akan menjadi percontohan nasional bagaimana lapas bisa berkembang menjadi pusat pemberdayaan masyarakat,” kata Darmawan Prasodjo.

Pulau penjara yang dulu menakutkan itu, kini sedang menulis babak baru: dari jeruji menuju produktivitas, dari limbah menuju berkah. ***