
Outflow Asing Mengganas, Ekonomi RI Terancam Melambat di 2025
- Bank Indonesia mencatat bahwa pada periode 8–10 April 2025, terjadi aksi jual bersih oleh investor asing di pasar keuangan domestik dengan nilai total Rp24,04 triliun.
Ekbis
IBUKOTAKINI.COM - Pasar keuangan Indonesia masih menghadapi tekanan capital outflow, terutama dari sektor saham yang tidak dapat diintervensi secara langsung oleh otoritas moneter. Hal ini disampaikan oleh Senior Economist Mirae Asset Sekuritas, Rully Wisnubroto.
Menurut Rully, tekanan capital outflow di pasar saham bukanlah fenomena baru. Ia mencatat bahwa dana asing mulai keluar dari pasar saham sejak kuartal IV-2024 dan terus berlanjut hingga kuartal I-2025.
“Outflow di pasar saham itu sebenarnya tidak hanya terjadi dalam beberapa bulan terakhir, ini sudah terjadi sejak bulan Oktober. Jadi sudah dua kuartal,” ungkap Rully dalam acara Media Day by Mirae Asset Sekuritas di Jakarta, Kamis, 17 April 2025.
Pasar saham menjadi sektor yang paling terdampak karena tidak dapat diintervensi seperti halnya nilai tukar rupiah atau Surat Berharga Negara (SBN), yang bisa dijaga melalui peran Bank Indonesia dan pemerintah.
Bank Indonesia mencatat bahwa pada periode 8–10 April 2025, terjadi aksi jual bersih oleh investor asing di pasar keuangan domestik dengan nilai total Rp24,04 triliun. Ini merupakan aksi net sell terbesar setidaknya sejak Januari 2023 atau dalam dua tahun terakhir.
Dari total tersebut, pasar Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) menjadi sektor yang paling terdampak dengan jual bersih mencapai Rp10,47 triliun, disusul oleh pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7,84 triliun, dan pasar saham sebesar Rp5,73 triliun.
BACA JUGA:
Agung Podomoro Dukung Langkah Besar Pemerintah di Sektor Perumahan - ibukotakini.com
Sementara itu, secara year-to-date (ytd) hingga 10 April 2025, investor asing masih mencatat beli bersih Rp7,11 triliun di SRBI dan Rp13,05 triliun di SBN. Namun, untuk pasar saham, tercatat jual bersih sangat besar sebesar Rp32,48 triliun.
Pertumbuhan Ekonomi Diprediksi Melemah pada 2025
Rully menilai potensi capital inflow masih terbatas karena daya tarik Indonesia dari sisi pertumbuhan ekonomi cenderung melemah. Ia menyebut proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 kemungkinan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.
“Most probably growth kita di 2025 ini akan lebih rendah dibandingkan dengan 2024. Bisa jadi di kisaran bawah target Bank Indonesia, yaitu 4,7%, bahkan mungkin 4,6% atau 4,5%,” jelasnya.
Ketidakpastian global dan faktor internal dinilai menjadi penghambat utama pertumbuhan yang pada akhirnya berdampak terhadap kinerja pasar modal nasional.
Bukan hanya pasar saham, Rully menyebut pasar obligasi juga mengalami tekanan signifikan sepanjang April 2025. Kondisi ini menjadi perhatian karena sebelumnya diharapkan tidak terjadi arus keluar besar dari SBN maupun instrumen jangka pendek seperti SRBI.
“Tadinya kalau keluar dari SBN, biasa pindah ke SRBI. Tapi sekarang di bulan April ini dua-duanya keluar. Jadi dari SBN keluar, dari SRBI juga keluar,” ujarnya.
BACA JUGA:
Wisata Baru Lebaran 2025, 64 Ribu Pengunjung Serbu Kawasan Inti Pemerintahan IKN - ibukotakini.com
Menjawab pertanyaan terkait kemungkinan perubahan suku bunga acuan, Rully memperkirakan Bank Indonesia tidak akan menurunkan suku bunga dalam waktu dekat. Ia menyebut BI akan tetap data dependent dan menjaga stabilitas sebagai prioritas utama.
“Kemungkinan akan tetap ditahan di 5,75%. Karena kalau diturunkan terlalu cepat, bisa memicu pelemahan rupiah lebih lanjut dan memperbesar intervensi cadangan devisa,” terang Rully.
Cadangan Devisa Cukup, tapi Tetap Perlu Waspada
Rully menegaskan bahwa posisi cadangan devisa Indonesia masih dalam kondisi aman, yakni sebesar US$157 miliar atau setara dengan 6,7 bulan impor. Angka ini dua kali lipat dari standar kecukupan internasional sebesar 3 bulan impor.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa Bank Indonesia tetap perlu menjaga ritme intervensi agar tidak menggerus cadangan secara drastis dalam waktu singkat.
“Kalau dalam sebulan cadangan devisanya tergerus terlalu besar, itu juga bisa berdampak negatif terhadap sentimen pasar,” ujarnya.