
Pandai Besi Tradisional Banjir Pesanan Jelang Iduladha
- Pelanggan bisa membawa bahan sendiri
Ekbis
IBUKOTAKINI.COM - Di tengah gempuran alat potong pabrikan yang serba instan dan modern, bengkel tempa tradisional Usaha Karya milik Juliansyah masih terus bertahan.
Bengkel ini berlokasi di Jalan Mayjend Sutoyo, kawasan Gunung Malang, Kelurahan Klandasan Ilir, Kecamatan Balikpapan Kota.
“Sudah lebih dari 20 tahun saya nempah. Ini usaha turun-temurun dari orang tua. Sekarang tinggal saya sendiri yang masih pakai cara tradisional di Balikpapan,” kata Juliansyah saat ditemui di bengkelnya, Selasa, 15 Mei 2025.
Di bengkel kecil beratap seng itu, suara palu dan dentingan besi terdengar hampir sepanjang hari. Logam merah membara ditempa dengan presisi hingga membentuk parang, pisau, hingga mandau. Setiap pukulan dilakukan dengan tangan, tanpa bantuan mesin modern.
Setia Pada Lilin, Bukan Printing: Dimas Batik Jadi Penjaga Terakhir Batik Tulis Tasikmalaya
Dalam sehari, Juliansyah bisa menempa hingga 10 bilah besi mentah menjadi bentuk dasar alat potong. Namun untuk produk jadi—lengkap dengan gagang dan sarungnya—dibutuhkan waktu lebih lama.
“Tapi untuk parang lengkap, dengan sarung dan gagangnya itu, bisa dua minggu. Kalau yang biasa, yang penting sudah disepuh, digerinda, lalu ditajamin, bisa selesai dalam tiga sampai empat hari,” jelasnya.

Menjelang Idul Adha, permintaan terhadap alat potong meningkat signifikan. Permintaan paling tinggi datang untuk pisau sembelih, parang, dan kampak untuk memotong daging dan tulang.
“Paling banyak pesan pisau sama parang sembelih. Kampak juga banyak. Kadang ada juga pelanggan lama yang datang cuma untuk servis. Jumlah pesanan sudah ratusan,” katanya.
Camilan Kekinian, Produk Peserta UMK Academy Sukses Tembus Pasar Hongkong
Soal bahan, Juliansyah fleksibel. Pelanggan bisa membawa bahan sendiri atau menggunakan bahan dari Usaha Karya. Ia menyebut, bahan terbaik untuk parang dan pisau adalah besi bearing atau lahar mobil karena daya tahannya tinggi dan mudah diasah.
“Kalau yang cuma ditempa dan digerinda saja, dari bearing itu sekitar Rp200 ribu. Kalau minta lengkap sampai sarung dan gagangnya, bisa Rp500 sampai Rp600 ribu,” tuturnya.
Ia juga masih menggunakan bahan seperti per mobil, tapi menolak keras menggunakan plat tipis. Menurutnya, itu tidak layak untuk keperluan kerja berat dan hanya akan menyulitkan pengguna di lapangan.
“Kita tidak pernah pakai plat. Harus baja. Harus kuat, tajam, tahan lama,” tegasnya sambil menunjukkan beberapa bilah parang yang sedang digarap.
Baru Enam Koperasi di Balikpapan Terkelola Sehat, DKUMKMP Minta Perbaikan Risiko
Meski usianya tidak muda lagi, semangat Juliansyah tak padam. Baginya, menempa bukan sekadar pekerjaan, tapi warisan keluarga yang harus dijaga. Ia berharap tradisi tempa tangan seperti ini tetap hidup di tengah kota minyak yang terus tumbuh modern.
“Kalau bukan saya, siapa lagi? Tinggal saya satu-satunya yang masih nempah manual di Balikpapan. Selama masih sanggup, saya kerjakan,” pungkasnya.***