Pasal Karet dalam Permenkominfo PSE Ancam Kebebasan Berekspresi
- IBUKOTAKINI.COM - Pakar keamanan digital, Teguh Aprianto menilai sejumlah pasal bermasalah terdapat dalam Permenkominfo No. 10 tahun 2021 tentang perubaha
Tekno
IBUKOTAKINI.COM - Pakar keamanan digital, Teguh Aprianto menilai sejumlah pasal bermasalah terdapat dalam Permenkominfo No. 10 tahun 2021 tentang perubahan atas Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat.
Pasal-pasal tersebut berpotensi mengkriminalisasi pengkritik pemerintah. Dikutip dari pernyataan melalui akun Twitter @secgron, Teguh membeberkan berbagai pasal 'karet' dalam peraturan tersebut.
"Pasal 9 ayat 3 dan 4 ini terlalu berbahaya karena 'meresahkan masyarakat' dan 'mengganggu ketertiban umum' ini karet banget," kata Teguh.
"Nantinya bisa digunakan untuk 'mematikan' kritik walaupun disampaikan dengan damai. Dasarnya apa? Mereka tinggal jawab 'mengganggu ketertiban umum'," imbuhnya.
Ia juga menyoroti pasal 14 ayat 3 yang juga mencantumkan frasa meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
"Di bagian ini nantinya mereka seenak jidatnya bisa membatasi kebebasan berekspresi dan juga berpendapat. Kok konten saya di-takedown? Mereka tinggal jawab 'meresahkan masyarakat'," tambahnya.
Teguh menduga pasal karet itu disengaja supaya pemerintah bisa melakukan apapun terhadap pengkritik.
"Intinya kalau ngikutin definisinya pemerintah ga bakalan ada yang beres. Kita semua udah bisa lihat dampak dari pasal karet di UU ITE. Permenkominfo yang ini juga sangat meresahkan."
Pasal lain yang juga mengganggu adalah pasal 36. Penegak hukum nantinya akan bisa meminta konten komunikasi dan data pribadi masyarakat ke PSE (Kominfo).
- https://ibukotakini.com/read/perusahaan-digital-di-indonesia-wajib-daftar-pse
- https://ibukotakini.com/read/diterapkan-mulai-hari-ini-simak-syarat-perjalanan-dari-luar-negeri-ke-indonesia
Tidak ada jaminan bahwa kebijakan ini tidak disalhgunakan untuk menekan pengkritik.
"Apa jaminannya bahwa ini nantinya tidak akan disalahgunakan untuk membatasi atau menghabisi pergerakan mereka yang kontra pemerintah? Ga ada kan?" ujarnya.
Pasal 36 ayat 3 menyatakan PSE Lingkup Privat memberikan akses terhadap konten komunikasi yang diminta aparat penegak hukum.
"Kominfo ini selama ini ga ngapa-ngapain, sekalinya ngapa-ngapain malah nyusahin," sentil Teguh.
Konsultan dan praktisi keamanan siber itu mengajak masyarakat melawan peraturan itu dengan tujuan pemerintah menarik Permenkominfo yang mengancam hak atas privasi.
Menurut Teguh, platform semacam Twitter, Google dan Meta (FB, IG, WA) belum mendaftar PSE lantaran khawatir melanggar kebijakan privasi mereka sendiri.
"Jika platform ini ikut mendaftar, maka mereka akan melanggar kebijakan privasi mereka sendiri & privasi kita sebagai pengguna juga akan terancam," jelasnya.
Batas waktu penyelenggara sistem elektronik (PSE) lingkup privat untuk melakukan pendaftaran akan berakhir pada 20 Juli 2022. Artinya, aplikasi yang tidak mendaftar ke Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam dua hari ke depan terancam diblokir.
Sejumlah pihak menyatakan kekhawatirannya atas kebijakan tersebut. Termasuk kelompok pembela hak digital di Asia Tenggara atau Safenet.
Safenet menggalang opini warganet untuk menolak penerapan Permenkominfo No. 10 tahun 2021 tentang perubahan atas Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat.
Menurut Safenet, penerapan regulasi ini dapat berdampak pada masyarakat sehingga tidak bisa menggunakan layanan dan mendapatkan manfaat dari kehadiran platform digital tersebut di Indonesia.
Safenet beralasan hukum hak asasi manusia berkata persyaratan pendaftaran semacam ini merupakan gangguan terhadap hak atas kebebasan berekspresi, dan hanya dapat diterima jika diperlukan dan proporsional dan untuk mencapai tujuan yang sah.
Semisal, adanya aturan agar platform digital memberikan informasi tentang rutinitas pengelolaan data mereka, dan harus menjamin akses penegak hukum ke sistem dan data elektronik tanpa memerlukan perintah pengadilan, menimbulkan risiko penerobosan data pribadi pengguna yang melanggar hak-hak privasi pengguna platform digital tersebut.
Selama ini, penafsiran ‘yang mengganggu masyarakat atau ketertiban umum’ kerap kali disalahgunakan negara dengan sasaran warga yang sebenarnya mengangkat problem nyata seputar diskriminasi, korupsi, pelanggaran hak asasi, atau situasi yang terjadi di Papua.