Pemerhati Kebijakan Publik Ichsanuddin Noorsy (Berbaju Batik)
Kabar Ibu Kota

Pembentukan Subholding Pertamina Dinilai Belum Baik

  •  IBUKOTAKINI.COM – Serikat Pekerja (SP) Mathilda Pertamina Kalimantan menggelar seminar nasional yang mengangkat tema Kilas Balik Dua Tahun Pembentukan Sub
Kabar Ibu Kota
Redaksi

Redaksi

Author

IBUKOTAKINI.COM – Serikat Pekerja (SP) Mathilda Pertamina Kalimantan menggelar seminar nasional yang mengangkat tema Kilas Balik Dua Tahun Pembentukan Subholding Pertamina Bisnis Inti Pertamina, pada Sabtu, 23 Juli 2022. 

Seminar nasional tersebut memperingati hari ulang tahun (HUT) Mathilda ke 21. Seminar berlangsung di Mainhall Benua Patra. Seminar menghadirkan Pemerhati Kebijakan Publik Ichsanuddin Noorsy. 

Ketua SP Mathilda Kalimantan, Mugiyanto menilai dengan pembentukan subholding memberikan dampak pada peran Pertamina yang menjadi terdegradasi. Mengingat bisnis inti Pertamina sudah tidak ada lagi. Di mana dulu Pertamina dikenal menguasai hajat hidup di sektor minyak dan gas dari hulu hingga hilir. 

“Dengan sekarang menjadi subholding punya entitas sendiri. Pertamina persero statusnya sebagai perusahaan portofolio saja, usahanya operasional diserahkan subholding. Ada enam subholding,” tutur Mugiyanto dalam Seminar Kilas Balik Pembentukan Subholding Pertamina.  

Dia menyebut, kini Pertamina tidak bisa lagi dalam pengelolaan energi dan ini berdampak pada ketersedian energi. Karena subholding ini akan mencari keuntungan masing-masing sehingga Peraturan Presiden Nomor 91 tahun 2014 mengatur distribusi harga BBM itu tidak bisa diberlakukan. Karena subholding ini statusnya perusahaan swasta.

Untuk itu, pihaknya membedah melalui seminar dengan mengundang Direktur Keuangan Pertamina. “Kita ingin transparan, golnya apa? Ini sudah dua tahun sejak 2020 ini sudah bergulir kita akan evalusi dan ternyata dampaknya tidak semakin baik,” tandasnya.

Seperti harga BBM tidak terkendali baik, karena diserahkan mekanisme pasar. “Pertanyaan siapa yang diuntungkan?apakah ini untuk perkuat BUMN saya rasa tidak. Apakah ini ada pesanan oligarki. Itu tanda tanya besar,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Pemerhati Kebijakan Publik Ichsanuddin Noorsy yang juga menjadi narasumber berpendapat bahwa pembentukan subholding yang dilakukan Kementerian BUMN merupakan model liberasasi. Ada dua pendekatan liberalisasi yakni kelembagaan dan keuangan.

“Asal muasal pada pendekatan komoditas/sektor. Lalu itu tidak cukup ternyata BUMN-BUMN itu tetap menguasai contah tadi Pertamina masih kuasai SPBU. Bagi mereka melawan market leader SPBU ini berat. Nah kemudian masuk pada kelembagaan dan keuangan tujuan tetap sama yakni liberalisasi,” jelas Noorsy begitu disapa. 

Lanjut Noorsy, melihat pada program liberaliasi cocok dengan program deregulasi dan debirokrasi seperti yang disampaikan Presiden. Termasuk penyataan dibulan Februari 2016 silam. “Selamat tinggal hambatan investasi, karena berbagai sektor diliberalkan.”

“Tapi apakah liberalisasi dibenarkan di konstitusional? Terjemahan ada di MK. MK sejak awal sesungguhnya tidak punya sikap tegas walaupun UU nomor 22 tahun 2021 (tentang Migas) sudah 3 kali gugat 3 kali pemecahan masalahnya beda-beda. Jadi pemecahan inti masalahnya adalah penempatan energi apakah sebagai hajat hidup orang banyak atau sebagai comercial goods? Sampai saat ini ketika saya jadi saksi ahli UU BUMN di MK tidak berani memutuskan apakah energi itu comersial good atau publik goods,” ulasnya.

Lanjut Noorsy jika menilik UUD 45 energi itu masuk hajat hidup orang banyak namun jika pakai penjelasan Pertamina, energi itu masuk dalam barang komersial.

“kenapa?karena MK sendiri dalam pengalaman saya MK itu tidak memutuskan energi itu komersial goods atau publik goods. Itu problemanya,” tandasnya.

Holdinasasi kacamata Noorsy memuluskan program liiberasi sektor energi yang tidak hanya dialami Pertamina. Tapi sudah dialami lain.

“Yang mendesak akan dilakukan setelah Pertamina adalah PLN. Akan seperti itu, lalu dijual diprivitasi di IPO kan. Problemnya pada keuangan. Tapi saya berpendapat berbeda,” pungkasnya.