
Perkuat Peran Jurnalis pada Isu Transisi Energi, AJI-YMH Beri Pelatihan
- Indonesia sebagai penyumbang emisi juga merupakan negara yang rentan terdampak kenaikan suhu global 2,7 derajat Celsius pada 2070
Kabar Ibu Kota
IBUKOTAKINI.COM – Yayasan Mitra Hijau (YMH) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan menggelar pelatihan jurnalistik bertema "Apa Itu Transisi Energi dan Bagaimana Meliputnya", Rabu (4/6/2025) di Balikpapan.
Kegiatan ini bertujuan memperkuat kapasitas jurnalis dalam memahami isu transisi energi dan menyajikannya secara kritis, mendalam, serta berpihak pada kepentingan publik.
Pelatihan menghadirkan tiga pembicara utama: Ketua Dewan Pembina YMH Dicky Edwin Hindarto, Communication Strategist YMH Fardila Astari, serta Koordinator Riset dan Publikasi AJI Indonesia Ahmad Arif. Ketiganya membahas transisi energi dari berbagai sudut: kebijakan dan ekonomi, strategi komunikasi publik, serta perspektif jurnalistik.
Dalam paparannya, Dicky Edwin Hindarto menegaskan bahwa transisi energi adalah keniscayaan, terutama bagi Kalimantan Timur (Kaltim) yang selama ini sangat bergantung pada batu bara. Ia menyoroti risiko ekonomi akibat fluktuasi harga komoditas ini seperti lonjakan harga batu bara dari $70 menjadi $400 per ton pada 2022 yang kemudian anjlok drastis yang dapat mengguncang perekonomian daerah jika tidak diantisipasi.
“Ketergantungan pada satu komoditas seperti kecanduan. Jika dibiarkan, bisa membahayakan masa depan ekonomi daerah,” ujar Dicky.
Ia mendorong diversifikasi ekonomi dengan mengembangkan sektor-sektor yang lebih berkelanjutan seperti pertanian modern, perdagangan, ekonomi kreatif, dan industri kecil berbasis rendah karbon. Salah satu contohnya adalah pemanfaatan limbah plastik untuk produksi konblok ramah lingkungan.
BACA JUGA:
PT Handa Energi Investasi Indonesia Bangun PLTA 300 MW di Mahulu - ibukotakini.com
Dicky juga menyebut pentingnya penggunaan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari industri batu bara dan migas untuk mendukung sektor pertanian dan energi bersih. Di sisi lain, ia menyoroti perlunya modernisasi pertanian sebagai solusi atas minimnya tenaga kerja di sektor tersebut, termasuk penggunaan alat-alat pertanian modern agar produktivitas meningkat.
Selain itu, ia mendorong pemerintah daerah untuk meniru strategi negara-negara seperti Jerman dan Jepang yang menjadikan batu bara hanya sebagai cadangan, sementara fokus utama beralih ke energi bersih.
Fardila Astari dari YMH memaparkan bagaimana media sosial bisa dioptimalkan untuk memperluas jangkauan isu transisi energi yang masih minim pemberitaan. Ia menyebut, media sosial kini bukan hanya alat berbagi informasi, tetapi juga ruang interaksi publik dan kanal penting dalam diseminasi pesan jurnalistik.
Mengutip laporan Reuters Institute 2024, Fardila mencatat bahwa lebih dari 50 persen pengguna di Asia Tenggara mengakses berita pertama kali melalui media sosial, bukan melalui portal berita langsung.
“Tanpa strategi sosial media yang kuat, jurnalisme sulit menjangkau publik yang lebih luas,” katanya.
Fardila membagikan sejumlah strategi, seperti segmentasi audiens, pemilihan waktu unggah yang tepat (pukul 11.00 dan 14.00 untuk Instagram, hindari hari Minggu), serta membangun kolaborasi dengan komunitas, akun edukasi, dan influencer lokal. Ia juga menekankan pentingnya konsistensi dan evaluasi dampak konten dibanding sekadar mengejar viralitas.
BACA JUGA:
PLN Siap Jalankan RUPTL Terhijau Sepanjang Sejarah - ibukotakini.com
Jurnalis sains dan lingkungan KOMPAS, Ahmad Arif, menyampaikan kepada peserta pentingnya pemberitaan transisi energi.
Terutama agar jurnalis paham terlebih dahulu siapa pihak yang diuntungkan dan dirugikan dengan transisi energi, serta mengapa transisi energi yang berkeadilan harus diperjuangkan. Sebab, hal ini akan memengaruhi setiap langkah pemberitaan.
Ia memberi contoh kasus deforestasi di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Itu terbukti telah meningkatkan suhu maksimum harian rata-rata hampir satu derajat Celsius dalam 16 tahun.
“Kenaikan suhu ini dikaitkan dengan meningkatnya risiko kematian dini di populasi hingga 8 persen,” sebutnya. Belum lagi jika mengangkat beban tersembunyi dari batu bara yang mencakup berbagai dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi yang tidak selalu terlihat langsung.
Contohnya dampak lingkungan dan kesehatan: tercipta deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati, pencemaran air, polusi udara, kerusakan tanah, dan erosi. Ini belum termasuk dampak sosial dan ekonomi lainnya.
Dia menjelaskan, Indonesia sebagai penyumbang emisi juga merupakan negara yang rentan terdampak kenaikan suhu global 2,7 derajat Celsius pada 2070. Maka, transisi energi adalah kebutuhan untuk keberlanjutan.
Harapannya, media berperan menggaungkan pemberitaan transisi energi, mengingat isu ini belum begitu mendapat perhatian secara masif. Sebagai contoh, produksi berita berkaitan dengan Just Energy Transition Partnership (JETP) atau Kemitraan Transisi Energi yang Adil.
BACA JUGA:
Sebuah skema kemitraan global yang melibatkan negara-negara maju dan berkembang untuk mempercepat transisi energi. JETP membantu pendanaan bagi negara-negara berkembang dalam beralih dari energi fosil ke energi bersih dan mengurangi emisi karbon. Program ini diluncurkan di sela-sela KTT G20 Bali pada 2022.
Namun berdasarkan data AJI Indonesia pada 2023, berita dengan tema JETP terbesar masih membahas soal investasi dan sumber dana. Sedangkan soal transisi energi, pensiun dini PLTU, hingga kebijakan iklim masih sangat minim.
Kemudian pemetaan narasumber yang menjadi acuan dalam pemberitaan JETP mengacu kepada pemerintah sebesar 46,7 persen dan BUMN 22,2 persen. Sehingga tampil dengan model berita informatif dan seremonial. Sedangkan berita analisis kritis hanya memegang 7,8 persen.
Menurut Studi LBH Pers pada 2022, pemberitaan perubahan iklim berfokus pada isu high-level seperti kebijakan dan sains. Artinya, jarang mengangkat pengalaman warga terdampak atau publik yang jauh lebih penting.
Masalahnya saat ini, pemerintah menggabungkan terminologi energi terbarukan dengan sumber energi lain dengan menggunakan frasa energi baru terbarukan yang disingkat sebagai EBT.
“Padahal, energi baru yang dihasilkan oleh teknologi baru belum tentu terbarukan,” ucap pria yang akrab disapa Aik tersebut.
Dia mengingatkan, tugas jurnalis dalam membahas transisi energi begitu kompleks. Salah satunya adalah mengungkap biaya sesungguhnya dari dampak energi kotor yang disembunyikan dari publik.
Hal itu mampu mendorong keadilan bagi masyarakat, perlindungan lingkungan, dan keberlanjutan ekonomi. “Dengan mengetahui dampak riil pembangunan, kita bisa menilai apakah aktivitas pembangunan itu benar-benar menguntungkan atau justru merugikan dalam jangka panjang,” ungkapnya.
Salah satu cara untuk itu adalah memperkuat kapasitas jurnalis melalui pelatihan jurnalistik dan program fellowship peliputan, seperti pelatihan transisi energi yang kali ini digelar Yayasan Mitra Hijau dan AJI Balikpapan.
Ketua AJI Balikpapan, Erik Alfian, mengatakan bahwa transisi energi bukan sekadar isu lingkungan, tetapi juga menyangkut masa depan ekonomi, keadilan sosial, dan keberlangsungan hidup generasi mendatang. Di Kaltim provinsi yang sangat bergantung pada batu bara jurnalis memiliki peran penting dalam mengawal narasi perubahan ini.
“Jurnalis harus memahami lanskap transisi energi secara komprehensif, dari konteks global seperti JETP hingga dampak lokal seperti deforestasi dan ketimpangan,” kata Erik.
Menurutnya, pelatihan seperti ini penting agar jurnalis tidak hanya terpaku pada pernyataan resmi, tetapi mampu menggali pengalaman warga terdampak dan membongkar sisi tersembunyi dari kebijakan energi.
“Dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh, kami berharap jurnalis di Balikpapan dan sekitarnya dapat menghasilkan liputan yang informatif, kritis, dan mendorong akuntabilitas serta keberlanjutan dalam proses transisi energi,” tutup Erik. ***