41 Calon Kepala Daerah Lawan Kotak Kosong di Pilkada 2024
Politik

Perludem Ungkap Penyebab Kotak Kosong di Pilkada 2024

  • Angka calon tunggal mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan dari tahun 2015 hingga 2024. Pada tahun 2015 hanya ada tiga daerah dengan calon tunggal di Indonesia, lalu mengalami kenaikan pada tahun 2017 dengan sembilan daerah.
Politik
Redaksi

Redaksi

Author

JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebut fenomena kotak kosong dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 salah satunya disebabkan oleh gendutnya koalisi Kabinet Indonesia Maju.

“Dalam riset yang dilakukan oleh tim peneliti Perludem, 545 daerah yang melakukan pilkada, 41 daerah diantaranya hanya memiliki 1 calon tunggal,” kata Peneliti Perludem, Haykal dalam webinar “Pilkada calon tunggal di 41 daerah potret mundurnya demokrasi lokal di Indonesia”, Minggu 8 September 2024.

Dari 41 daerah tersebut terinci menjadi satu provinsi, lima kota, dan 35 kabupaten. Sebanyak 29 daerah berada di Indonesia Barat, sembilan di Indonesia Tengah, dan dua di bagian Indonesia Timur.

Selain itu, angka calon tunggal mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan dari tahun 2015 hingga 2024. Pada tahun 2015 hanya ada tiga daerah dengan calon tunggal di Indonesia, lalu mengalami kenaikan pada tahun 2017 dengan sembilan daerah.

Pada tahun 2018 terdapat 16 daerah dan pada tahun 2020 terdapat 25 daerah. Yang menjadi perhatian ialah pilkada serentak di tahun 2024 ini, daerah dengan calon tunggal di tahun 2024 hampir menyentuh angka dua kali lipat tahun 2020 yaitu 41 daerah.

BACA JUGA:

Haykal menyebut ada setidaknya tiga faktor pemicu. Pertama, pragmatisme partai politik (parpol) yang ingin mendapatkan kemenangan dengan kemungkinan yang hampir pasti. Koalisi gendut berawal dari parpol-parpol raksasa dengan perolehan suara cukup besar, bila diakumulasikan perolehan suara koalisi tersebut mencapai angka 30 hingga 40%.

Kemudian faktor kedua, partai gagal melakukan rekrutmen dan kaderisasi politik sehingga bertumpu pada sosok. Para parpol yang merasa gagal melakukan kaderisasi dan rekrutmen, merasa tidak percaya diri untuk melakukan kontestasi politik, sehingga masuk pada koalisi yang besar menjadi suatu jalan pemecah permasalahan.

Faktor terakhir, koalisi pasca pemilihan presiden (pilpres) sengaja dibawa ke daerah untuk menciptakan konsolidasi. Dekatnya masa pilpres dan pilkada serentak menjadi faktor yang cukup besar. Sehingga, partai-partai yang berada di koalisi pada pilpres memilih untuk tetap berada pada koalisi.

Selain itu, ambang batas yang cukup berat, yakni 20% dari jumlah kursi di DPRD atau 25%, juga menjadi satu halangan para parpol untuk berani berlaga pada kontestasi. Namun setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) putusan No. 60/PUU-XXII/2024 telah membawa perubahan signifikan terhadap ambang batas pencalonan kepala daerah di pilkada.

“Seharusnya setelah adanya putusan MK tersebut membuka peluang serta ruang yang lebih luas lagi bagi para partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah tanpa harus adanya koalisi,” ucap Haykal.

Pentingnya Oposisi untuk Keberlanjutan Demokrasi
Mengutip jurnal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), partai politik (parpol) menjadi kendaraan atau institusi oposisi dalam pemerintahan. Ada tiga hal yang diperlukan parpol untuk penguatan oposisi pada jiwa partai, pertama pemantapan ideologi, kaderisasi, dan kemandirian partai.

Pemantapan ideologi pada poin pertama mengacu pada keyakinan terhadap ideologi, dimulainya pemantapan terhadap ideologi dalam jangka waktu yang panjang tanpa harus melebur. Dengan begitu perbedaan warna oposisi dan petahana sangat kontras.

Bagi parpol yang memiliki kesamaan ideologi dapat membentuk koalisi untuk menguatkan daya tawar (bargaining position) kepada pihak lawan. Lalu, kaderisasi dalam partai harus dibentuk secara sistematis. Dengan kaderisasi yang sistematis akan menciptakan fungsionaris yang paham akan nilai, ideologi, dan tujuan partai.

Juga menjauhkan partai serta kader dari hal yang bersifat pragmatis dan sementara, selain itu tidak melupakan tujuan dan idealisme bersama. Selanjutnya, kemandirian partai terutama dalam keuangan menciptakan partai yang tidak dapat digerakan dan dipatronasi. Serta menjauhkan parpol dari hal yang bersifat mengikat dan utang budi. (Trenasia.com)