Pendiri Perludem, Titi Anggraini (kiri)
Tren

Putusan MK Soal Ambang Batas Pilpres, Kado Indah untuk Demokrasi

  • Tiga kali permohonan Titi ditolak.
Tren
Hadi Zairin

Hadi Zairin

Author

IBUKOTAKINI.COM – Pendiri Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan perkara uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential nomination threshold). 

Putusan ini dianggap sebagai tonggak baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia.

“Alhamdulillah, Kamis (2/1), MK memutus perkara pengujian ambang batas pencalonan presiden. Ada empat perkara yang diputus, dan salah satunya, yakni perkara No. 62/PUU-XXII/2025, dikabulkan seluruhnya,” ujar Titi melalui akun X.

Ia mengungkapkan, perkara yang diajukannya bersama tim tidak diterima karena telah kehilangan objek setelah perkara No. 62 dikabulkan. Meski demikian, Titi menyebut putusan ini sebagai capaian besar bagi demokrasi Indonesia.

BACA JUGA:

Mahfud MD Tanggapi Putusan MK Penghapusan Presidential Threshold

Titi menilai putusan ini mengejutkan dan melampaui ekspektasi. “Di luar bayangan kami, MK mampu melangkah seprogresif ini setelah sebelumnya 30 kali menolak pengujian pasal ini,” katanya. 

Ia menyebut putusan ini sebagai langkah berani MK yang mengubah pendirian hukum mereka soal inkonstitusionalitas ambang batas pencalonan presiden.

“Meski amat terlambat, putusan ini patut kita syukuri. Kado awal tahun yang sangat indah bagi demokrasi Indonesia. Bak musim semi setelah sekian lama kebekuan menyelimuti pilpres kita,” tambahnya.

Titi bersama Hadar Nafis Gumay telah tiga kali menguji pasal ini ke MK, yaitu pada 2017, 2019, dan 2024. Ia menceritakan bagaimana perjuangan panjang ini akhirnya membuahkan hasil.

“Total 100 halaman permohonan kami setor ke MK. Ekspektasi kami turunkan dengan meminta rekonstruksi ambang batas, tetapi putusan MK justru melampaui prediksi kami,” ungkapnya.

BACA JUGA:

Awal Tahun 2025 Tarif BCT Sudah Berlaku, Ini Besarannya

Titi juga mengapresiasi peran generasi muda dalam perjuangan ini, termasuk mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) yang menjadi kuasa hukum dalam pengajuan permohonan. “Pada diri mereka saya melihat harapan Indonesia yang gemilang,” ujarnya.

Sebagai akademisi, Titi melihat pentingnya penguatan kurikulum pendidikan hukum untuk mendukung aktivisme mahasiswa dalam jalur pengadilan. 

“Kalau model pendidikan dosen hukum masih konvensional dan minim diskursus, maka akan tertinggal oleh dinamika gerakan mahasiswa yang progresif,” tegasnya.

Titi menutup pernyataannya dengan ajakan untuk terus mengawal independensi MK. “Mari kita rayakan pencapaian ini, sembari menjaga pengadilan agar tetap independen. Perjalanan masih panjang, mari jaga stamina dan fokus,” pungkasnya. ***