Putusan Sengketa Pilpres, 'Keranjang Sampah' Muncul di Sidang MK
- MK menilai tidak ada korelasi yang dapat diidentifikasi antara bentuk cawe-cawe yang dimaksud dengan potensi perolehan suara Prabowo-Gibran.
Politik
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan hasil putusan terkait sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024. Sidang pembacaan putusan gugatan hasil Pilpres 2024 digelar di Gedung MK, Jakarta, dan melibatkan dua gugatan yang diajukan oleh pasangan calon Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh menyatakan bahwa MK tidak menemukan bukti adanya cawe-cawe (campur tangan) oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pemilu 2024.
Menurutnya, tidak ada korelasi yang dapat diidentifikasi antara bentuk cawe-cawe yang dimaksud dengan potensi perolehan suara salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu Tahun 2024.
“Mahkamah juga tidak mendapatkan bukti adanya korelasi antara bentuk cawe-cawe dimaksud dengan potensi perolehan suara salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu Tahun 2024,” kata Daniel saat membacakan putusan hasil sengketa pilpres 2024, Senin (22/4/2024).
Meskipun berbagai alat bukti diajukan oleh pemohon, termasuk artikel dan rekaman video berita dari media massa, MK menyimpulkan bahwa pernyataan Presiden yang berkehendak untuk cawe-cawe dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 tidak dapat ditafsirkan sebagai campur tangan tanpa bukti kuat yang diperoleh selama persidangan.
BACA JUGA:
Daniel juga mencatat bahwa pihak pemohon tidak mengajukan keberatan terhadap cawe-cawe Jokowi selama proses Pemilu berlangsung. Oleh karena itu, MK menilai dalil pemohon tentang keterlibatan Jokowi dalam cawe-cawe pemilu tidak beralasan menurut hukum.
Hakim Konstitusi Saldi Isra sempat menyinggung sejumlah lembaga negara dalam sidang tersebut. Saldi Isra menegaskan bahwa dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24c ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, MK tidak hanya sebatas mengadili angka-angka atau hasil rekapitulasi penghitungan suara.
Akan tetapi, MK juga dapat menilai hal-hal lain yang berkaitan dengan tahapan pemilu berkenaan dengan penetapan suara sah hasil pemilu.
Meski demikian Saldi Isra menambahkan, meskipun MK memiliki kewenangan konstitusional untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum, Saldi Isra menekankan pentingnya lembaga lain seperti Bawaslu dan Gakkumdu melaksanakan kewenangannya secara optimal demi pemilu yang jujur dan adil.
“Sebenarnya tidak tepat dan tidak pada tempatnya apabila mahkamah dijadikan tumpuan untuk menyelesaikan semua masalah yang terjadi selama penyelenggaraan tahapan Pemilu.”
BACA JUGA:
“Apabila tetap diposisikan untuk menilai hal-hal lain sama saja dengan menempatkan Mahkamah sebagai keranjang sampah untuk menyelesaikan semua masalah yang berkaitan dengan pemilu di Indonesia,” imbuhnya.
Selain itu, Saldi Isra mengingatkan lembaga politik seperti DPR untuk tidak lepas tangan dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya. Hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat harus digunakan untuk memastikan seluruh tahapan pemilu sesuai dengan undang-undang dasar 1945.
“Sehingga sejak awal (DPR) harus mulai menjalankan fungsi konstitusionalnya seperti fungsi pengawasan dan menggunakan hak-hak konstitusional yang melekat pada jabatannya seperti hak interpelasi hak angket dan hak menyatakan pendapat guna memastikan seluruh tahapan pemilu dapat terlaksana sesuai dengan pasal 22 e ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945,” jelasnya.
Saldi menegaskan hal itu karena Mahkamah Konstiitusi hanya memiliki waktu yang terbatas in casu 14 hari kerja untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. ***