Raksasa Tekstil Indonesia, Sritex, Kolaps, 15.000 Karyawan Terancam PHK
- Upaya penyelamatan aset dan pembayaran utang akan menjadi tantangan besar bagi tim kurator yang ditunjuk oleh pengadilan
Ekbis
IBUKOTAKINI.COM – Badai PHK kembali menghantui Indonesia. PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), salah satu produsen tekstil terbesar di Indonesia, resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang pada Senin, 21 Oktober 2024.
Putusan tersebut menandai titik akhir bagi Sritex yang selama beberapa tahun terakhir terbelit masalah keuangan.
Keputusan ini merupakan respons dari permohonan PT Indo Bharat Rayon yang mengajukan pembatalan rencana perdamaian (homologasi) sebelumnya, dengan dalih bahwa Sritex dan anak perusahaannya – PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya – lalai dalam memenuhi kewajiban pembayaran utang.
Sebagai hasilnya, PN Niaga Semarang memutuskan untuk membatalkan kesepakatan homologasi dan menyatakan perusahaan tersebut pailit, beserta anak-anak perusahaannya.
BACA JUGA:
Pailitnya Sritex tidak bisa dilepaskan dari beban keuangan yang membengkak. Berdasarkan laporan keuangan tahun buku 2023, perusahaan tekstil yang berbasis di Sukoharjo, Jawa Tengah ini mencatat total liabilitas sebesar US$1,60 miliar atau sekitar Rp24,85 triliun.
Dari jumlah tersebut, utang jangka pendek kepada bank mencapai US$11 juta (Rp170,83 miliar), sedangkan utang jangka panjang jauh lebih besar, mencapai US$85 juta (Rp13,29 triliun).
Tiga bank yang menjadi kreditur terbesar dalam utang jangka panjang tersebut adalah PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan utang sebesar US$72,53 juta, PT Bank QNB Indonesia Tbk sebesar US$37,99 juta, dan Citibank N.A. Indonesia sebesar US$36,72 juta.
PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) menjadi satu-satunya bank milik pemerintah yang turut memberikan pinjaman, dengan nilai utang sebesar US$23,80 juta.
Keputusan pengadilan ini menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan karyawan Sritex.
BACA JUGA:
Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Sritex Group menyuarakan keprihatinannya terhadap nasib 15.000 karyawan yang berisiko terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat kebangkrutan ini.
Meskipun produksi masih berlangsung, dan perusahaan telah melakukan upaya restrukturisasi, status pailit ini bisa memperparah kondisi internal perusahaan dan meningkatkan kemungkinan PHK massal.
Hal ini menjadi momok bagi ribuan pekerja yang menggantungkan hidupnya pada perusahaan tekstil ini.
Dikutip dari trenasia, permasalahan keuangan Sritex bukanlah hal baru. Pada 2023, penjualan bersih perusahaan turun drastis sebesar 38,02%, dari US$524,56 juta pada 2022 menjadi hanya US$325,08 juta (sekitar Rp5,01 triliun).
Penjualan ekspor tercatat sebesar US$158,66 juta, sedangkan penjualan domestik mencapai US$166,41 juta—keduanya mengalami penurunan yang signifikan sepanjang tahun 2023.
BACA JUGA:
Penurunan ini turut memperparah rugi bersih yang dialami perusahaan, menambah tekanan finansial yang telah menghimpit.
Dengan keputusan pailit ini, langkah-langkah hukum dan restrukturisasi yang akan ditempuh Sritex akan menjadi perhatian besar, tidak hanya bagi dunia usaha tetapi juga pemerintah dan ribuan karyawan yang terlibat.
Upaya penyelamatan aset dan pembayaran utang akan menjadi tantangan besar bagi tim kurator yang ditunjuk oleh pengadilan, sementara tekanan sosial dari ancaman PHK besar-besaran sudah mengintai di depan mata.
Bagi industri tekstil nasional, kebangkrutan Sritex menjadi salah satu pukulan terbesar, terutama dalam masa pemulihan ekonomi pasca-pandemi yang masih rapuh. ***