Selamat Tahun “PPN 12” Baru
- Ada yang bilang ini bagian dari cuaca ekstrem atau cuaca buruk
Ekbis
Catatan Rizal Effendi
TAHUN baru yang tidak nyaman. Persis 1 Januari 2025 nanti, kita mendapatkan “kado” yang tidak mengenakkan kantong kita. Pemerintah mulai melaksanakan tarif baru Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen.
PPN seperti dijelaskan dalam Buku Pedoman Lengkap Pajak Pertambahan nilai (2016) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya ke konsumen.
Dalam bahasa sederhana, PPN adalah pungutan negara atau kewajiban rakyat yang ditambahkan dalam pembayaran ketika kita membeli suatu barang atau jasa.
Menko Perekonomian Arilangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani paling banyak diburu awak media untuk menjelaskan kebijakan ini. Maklum mereka berdua yang bertugas meracik kebijakan ini di awal pemerintahan Presiden Prabowo.
Apalagi ada yang berpendapat penjelasan pemerintah membingungkan, berbeda satu sama lain.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan membuat simulasi perhitungan pengenaan tarif PPN 12 persen. Yaitu Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dikali tarif PPN. Hasilnya ditambahkan kepada harga barang atau jasa. Itu yang harus kita bayar.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti memberi contoh. Jika kita membeli suatu barang yang harganya Rp5 juta, maka besarnya tarif PPN adalah 12 persen dikali Rp5 juta, yaitu Rp600 ribu. Jadi yang harus kita bayar Rp5 juta ditambah Rp600 ribu yaitu Rp5.600.000.
Menurut Dwi, seperti dijelaskan sebelumnya oleh Menkeu Sri Mulyani, tarif PPN 12 persen berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenakan tarif PPN. Sebelumnya tarif PPN adalah 11 persen. Jadi ada kenaikan 1 persen.
Meski demikian, dia menambahkan, ada sejumlah kebutuhan pokok lain yang mendapatkan fasilitas bebas PPN alias 0 persen tarifnya.
Pertama menyangkut kebutuhan pokok. Seperti beras, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-mayur.
Kedua, sejumlah jasa. Di antaranya jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan air, jasa tenaga kerja, serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum.
Ketiga, barang lain.
Yang dimaksud barang lain adalah kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rumah susun sederhana milik (rusunami), listrik dan air minum.
Sekalipun secara umum ketiga kebutuhan pokok tadi bebas PPN, dalam keterangan lain DJP menyebutkan mereka tetap mengenakan tarif PPN terhadap barang kebutuhan pokok premium serta jasa kesehatan dan jasa pendidikan premium.
Apa yang saja yang dimaksud barang dan jasa kebutuhan pokok yang masuk kriteria premium, masih menunggu penjelasan teknis lebih jauh dari DJP. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), premium artinya yang bermutu atau berkualitas.
Sementara itu sudah beredar daftar barang dan jasa yang dikenakan tarif PPN 12 persen. Setidaknya ada 8 jenis. 1. Rumah sakit dengan layanan VIP atau fasilitas kesehatan premium lainnya. 2. Institusi pendidikan bertaraf internasional dengan biaya tinggi atau layanan pendidikan premium serupa. 3. Konsumsi Listrik rumah tangga dengan daya 3.600-6.600 VA.
Ke-4, beras dengan kualitas premium. 5. Buah-buahan kategori premium. 6. Ikan berkualitas tinggi seperti salmon dan tuna. 7. Udang dan crustasea mewah, misalnya king crab. 8. Daging premium seperti wagyu atau kobe, yang memiliki harga mencapai jutaan rupiah.
Ada juga jenis kebutuhan pokok yang pajaknya tetap 11 persen. Sebab kenaikan 1 persennya ditanggung pemerintah. Yaitu tepung terigu, gula industri dan Minyakita.
Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan alias Zulhas punya pernyataan lain. Menurutnya, beras medium dan premium tidak terdampak kenaikan PPN 12 persen. “Jadi beras medium dan premium nggak, nggak ada PPN 12 persen. Beras khusus maksudnya,”tandasnya tanpa menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan beras khusus tersebut.
Sementara itu, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengakui kenaikan PPN 12 persen salah satunya untuk mengimplementasikan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Maksud mengimplementasikan, ya kurang lebih membiayai.
“Naiknya pendapatan negara melalui pajak termasuk PPN 12 persen akan mendorong program astacita dan program prioritas Presiden Prabowo baik di bidang pangan, energi, infrastruktur, pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial hingga MBG,” katanya begitu.
Dalam bagian lain dia berkilah keputusan pemberlakuan PPN 12 persen bukan dari pemerintah, akan tetapi DPR. “Yang menentukan DPR, pemerintah hanya melaksanakan amanah UU Nomor 7 Tahun 2021,” jelasnya.
AJAK HIDUP MINIMALIS
Rencana kenaikan tarif PPN 12 persen mendapat penolakan keras dan meluas dari masyarakat. Alasannya, karena akan menimbulkan efek berantai atau efek domino terhadap harga barang dan perekonomian.
Ada aksi unjuk rasa turun ke jalan sampai aksi warganet di media sosial yang ramai-ramai menandatangani petisi penolakan kenaikan PPN 12 persen.
“Harus dibatalkan karena berdampak luas pada perekonomian masyarakat,” kata Rasyid Azhari, inisiator Gerakan Bareng Warga, yang menolak kenaikan PPN 12 persen.
Laporan terakhir menyebutkan sudah 200 ribu orang yang ikut menandatangani petisi penolakan. Melebihi dari target yang tadinya ditetapkan 150 ribu orang.
Gen-Z dan K-Popers juga ikut aksi tolak PPN 12 persen. Ada poster yang berbunyi: “Ketua Serikat Gen Z Tolak Kenaikan PPN 12 Persen.” Beberapa pengunjuk rasa dari kelompok ini membawa lampu tangan “lightstick.”
Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) juga melakukan aksi yang sama. Mereka mengancam melakukan gerakan yang masif jika Presiden Prabowo tidak menunda atau membatalkan.
Ada juga yang mengajak aksi boikot bayar PPN. Caranya jangan belanja barang di mal. Karena semua barang di mal kena PPN. Cukup belanja di warung-warung kecil. Juga gerakan hidup minimalis, tunda beli barang-barang terkena PPN dan cukup beli barang di pasar-pasar tradisional.
Di Senayan, PDIP sebagai partai oposisi bersuara keras. Menurut Ketua DPP PDIP yang juga Ketua DPR RI, Puan Maharani, kenaikan PPN akan memperburuk kondisi ekonomi, terutama masyarakat kelas menengah dan pelaku usaha kecil.
“Kita harus memahami kondisi rakyat, jangan sampai dengan kenaikan PPN malah membuat perekonomian rakyat semakin sulit,” ujar Puan dalam keterangannya beberapa waktu lalu.
Ketua DPP PDIP lainnya, Ganjar Pranowo menambahkan. Menurutnya, kenaikan PPN bikin ngilu masyarakat. Indonesia menjadi negara dengan PPN tertinggi di ASEAN bersama Filipina.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menyindir PDIP. Soalnya Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang disahkan menjadi UU HPP justru dikomandoi atau Ketua Panjanya dari Fraksi PDIP. “Jadi saya heran,” katanya.
Dalam UU HPP No 7 Tahun 2021 itu, disebutkan PPN dengan tarif 12 persen mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengungkapkan apa yang dijelaskan Sri Mulyani agak beda dengan yang disampaikan Presiden Prabowo.
“Presiden menyampaikan yang naik 12 persen hanya selected item. Antara lain rumah mewah, apartemen mewah, mobil mewah hingga tas mewah. Di luar itu masih 11 persen,” jelasnya.
Karena itu dia minta Kementerian Keuangan mengubah keputusannya. “Mudah-mudahan pengarahan Bapak Presiden itu dijalankan dengan baik,” kata Misbakhun, mantan pegawai Ditjen Pajak, yang menjadi anggota Dewan dari Partai Golkar.
Senator dari Kaltim, Yulianus Henock yang duduk sebagai anggota Komite II DPD RI ikut bersuara. Dia menyesalkan pemerintah tetap menaikkan PPN 12 persen per 1 Januari 2025. “Saya minta ditunda atau dibatalkan karena sangat membebani kehidupan rakyat yang sudah semakin sulit,” tandasnya.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda berpendapat, PPN 12 persen dapat menaikkan pengeluaran kelompok menengah, rentan dan miskin.
Celios memperkirakan, PPN 12 persen akan menaikkan harga kuota internet, baju dan alas kaki, alat mandi, jasa kecantikan dan kebersihan, peralatan rumah tangga, jasa bengkel dan suku cadang kendaraan bermotor, cicilan motor, air minum kemasan serta mi instan.
Direktur Celios lainnya, Bhima Yudhistira mengatakan, definisi barang dan jasa yang dikenakan tarif PPN 12 persen masih kabur. Membingungkan. Karena itu dia menyarankan lebih baik pemerintah memungut pajak bukan dari kenaikan PPN, tetapi dari Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Yang menarik adalah pernyataan Wicaksono, Deputi Bidang Pendanaan dan Investasi Otorita IKN.
Menurut dia, pemberlakuan PPN 12 persen berikut adanya kebijakan insentif pajak menjadi faktor pendorong bagi masyarakat untuk berinvestasi dan menetap ke IKN.
Apakah pelaksanaan tarif PPN 12 persen dibatalkan atau ditunda? Sepertinya pemerintah tetap ngotot jalan terus. Ada yang bilang ini bagian dari cuaca ekstrem atau cuaca buruk yang diprediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terjadi sampai awal 2025. **-
(Wartawan senior Kaltim, Walikota Balikpapan 2011-2021)