
Tarif Impor 32% Berlaku 1 Agustus, Jutaan Pekerja Terancam PHK
- Tarif tinggi tersebut dinilai akan membuat produk-produk Indonesia, seperti tekstil, alas kaki, furnitur, karet, kopi, dan perikanan, semakin tidak kompetitif di pasar AS
Ekbis
IBUKOTAKINI.COM - Pemerintah Amerika Serikat resmi menaikkan tarif impor menjadi 32% untuk seluruh produk asal Indonesia, efektif mulai 1 Agustus 2025. Kebijakan ini menjadi ancaman besar bagi industri padat karya nasional, yang selama ini mengandalkan pasar AS sebagai tujuan ekspor utama.
Koordinator Advokasi Jaminan Sosial BPJS Watch, Timboel Siregar, menyebut upaya tim negosiator Indonesia yang berkunjung ke Washington pada April lalu gagal total.
“Negosiasi tak membuahkan hasil, berbeda dengan negara ASEAN lain seperti Vietnam dan Kamboja yang berhasil menurunkan tarif ekspornya,” ungkapnya kepada TrenAsia.id media berjejaring ibukotakini.com pada Senin, 14 Juli 2025.
Tarif tinggi tersebut dinilai akan membuat produk-produk Indonesia, seperti tekstil, alas kaki, furnitur, karet, kopi, dan perikanan, semakin tidak kompetitif di pasar AS. Celios memprediksi kondisi ini bisa memicu PHK massal hingga 1,2 juta pekerja, khususnya di sektor tekstil dan garmen.
BACA JUGA:
Lagi, Gubernur Kaltim Minta Blokir Anggaran Dibuka untuk Perbaikan Jalan Nasional - ibukotakini.com
“PHK besar-besaran ini bisa memperburuk tingkat pengangguran terbuka dan menggagalkan target pertumbuhan ekonomi 5% tahun depan,” kata Timboel. Ia juga mengingatkan ancaman ini bisa menjauhkan ambisi pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029.
Timboel mendesak pemerintah segera memperbaiki iklim investasi, seperti memberikan insentif bebas sewa lahan, mempercepat perizinan, menurunkan bunga kredit, hingga menghapus praktik korupsi.
“Pembentukan Satgas PHK tahun ini diperlukan, bukan 2026, untuk mengantisipasi gelombang pemutusan hubungan kerja yang kian tak terbendung,” katanya.
Terakhir, Timboel menekankan perlunya diversifikasi pasar ekspor dan optimalisasi keanggotaan Indonesia di BRICS sebagai peluang strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar Amerika.
"Duta besar jangan cuma urus administrasi. Mereka harus aktif buka pasar baru dan tarik investor!," pungkasnya. ***
